Kasus Robertus Robet Dianggap Bentuk Kriminalisasi
Berita

Kasus Robertus Robet Dianggap Bentuk Kriminalisasi

Karena dianggap mengancam kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi, demokrasi, dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Jaringan Solidaritas Korban untuk Kekerasan (JSKK) saat aksi Kamisan di depan Istana Negara Jakarta beberapa waktu lalu.
Jaringan Solidaritas Korban untuk Kekerasan (JSKK) saat aksi Kamisan di depan Istana Negara Jakarta beberapa waktu lalu.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak Polri untuk menghentikan kasus yang menimpa aktivis HAM sekaligus dosen UNJ, Robertus Robet yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Robet ditangkap Rabu (6/3) malam hari dengan dugaan kasus mengkritik dan menghina TNI saat aksi Kamisan di depan Istana Negara Jakarta, beberapa waktu lalu.

 

Atas kasus ini, Robet dijerat Pasal 28 ayat (2) juncto 45A ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diperbarui melalui UU No.19 Tahun 2016. Kemudian Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.

 

ICJR dan LBH Pers mendesak Polri untuk menghentikan kasus Robert karena telah melanggar HAM (hak kebebasan berekspresi) dan mengancam demokrasi. Presiden Joko Widodo dan Kapolri diminta mengevaluasi kinerja penyidik yang telah memproses hukum Robertus Robet sebagai bentuk keseriusan menjaga amanat konstitusi, reformasi, dan demokrasi.

 

“Kita minta Polri mengikuti peraturan perundang-undangan dan memperhatikan HAM terkait kebebasan berekspresi,” demikian ICJR dan LBH Pers dalam keterangan tertulisnya yang diterima Hukumonline, Kamis (7/3/2019). Baca Juga: Kasus Robertus Robet Dinilai Ancaman bagi Kebebasan Sipil di Masa Reformasi

 

ICJR dan LBH Pers berpendapat kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin konstitusi. Pasal 28 E ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat. Pasal 23 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM lebih dalam mengatur kebebasan berekspresi. Secara internasional kebebasan berekspresi juga dijamin Pasal 19 Kovenan Sipol yang telah diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005.

 

Pasal 28 ayat (2) UU ITE untuk menjerat Robet tidak masuk akal karena tindakan Robet yang dituduhkan itu tidak melalui sistem elektronik, tapi secara offline. Rumusan pasal ini sama seperti Pasal 156 KUHP terkait ujaran kebencian. Kedua pasal itu memiliki syarat bahwa perbuatan ujaran kebencian itu harus bersifat propaganda dan penghasutan, bukan sekedar “penghinaan” atau “tuduhan.”

 

Selain itu, Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 156 KUHP mendasari pidana kepada perbuatan berbasis SARA dan/atau golongan dalam masyarakat. Sementara pejabat pemerintah dan lembaga negara tidak masuk kategori ujaran kebencian ini. “Bagi ICJR dan LBH Pers penggunaan pasal ini bisa dilihat sebagai upaya kriminalisasi terhadap Robet,” sebutnya.

Tags:

Berita Terkait