PSHK: RUU Cipta Kerja Langkah Mundur Reformasi Regulasi
Berita

PSHK: RUU Cipta Kerja Langkah Mundur Reformasi Regulasi

DPR harus menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan sesuai mekanisme check and balances terhadap Presiden dan menyuarakan kepentingan publik yang kritis terhadap RUU Cipta Kerja. Sementara DPR mengaku siap menerima masukan semua elemen masyarakat saat pembahasan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. HGW
Ilustrasi pembahasan RUU. HGW

Pemerintah resmi menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada Rabu (13/2/2020) kemarin. Dari draf RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat berisi 15 bab, dan 174 pasal, dengan 79 UU terdampak. Namun, ironisnya tidak ada satu pun laman resmi pemerintah atau DPR yang menyebarluaskan draf ataupun naskah akademik RUU Cipta Kerja.

 

“Tidak tersedianya kanal resmi untuk mengakses RUU Cipta Kerja menjadikan ruang partisipasi publik tertutup,” ujar Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Rizky Argama saat dikonfirmasi, Jum’at (14/2/2020). Baca Juga: Pemerintah: RUU Cipta Kerja Murni Ciptakan Lapangan Pekerjaan

 

Dia menilai sikap pembentuk UU tersebut melanggar salah satu prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya asas keterbukaan. Terkait asas itu, Pasal 170 Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011 mengharuskan pemerintah dan DPR menyebarluaskan RUU sejak tahap penyusunan. 

 

“Partisipasi masyarakat merupakan hak yang dijamin Pasal 96 ayat (1) UU 12/2011,” kata dia.

 

PSHK melihat proses penyusunan draf RUU Cipta Kerja oleh pemerintah pusat hanya melibatkan segelintir elit, seperti kepala daerah dan asosiasi pengusaha. Mengingat RUU Cipta Kerja ini memiliki tingkat kompleksitas tinggi dan cakupan substansi amat beragam, seharusnya pemerintah sejak awal mengundang keterlibatan publik, terutama kelompok masyarakat yang akan menjadi pihak terdampak untuk memberikan masukan.

 

“Tak heran, kesan tertutup dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini mengakibatkan gelombang penolakan besar-besaran dari berbagai kelompok masyarakat,” sebutnya.  

 

Alih-alih mengubah pendekatan, pemerintah justru merespons dengan memposisikan kelompok pengkritik sebagai pihak yang menolak terciptanya kemudahan berusaha di Indonesia. Narasi publik yang disampaikan pemerintah dengan meminta aparat penegak hukum dan intelijen untuk melakukan pendekatan pada organisasi yang kritis pada RUU Cipta Kerja mengurangi kualitas diskusi yang terjadi di masyarakat.

 

Di sisi lain, lanjut Argama, DPR tidak menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan. Adanya gelombang penolakan publik justru tidak membuat DPR kritis terhadap pemerintah. Sebaliknya, sejumlah anggota DPR justru mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terkesan memberi “karpet merah” kepada pemerintah bahwa mereka akan segera mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.

Tags:

Berita Terkait