Menyoal Good Legislation Making dalam Penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja
Utama

Menyoal Good Legislation Making dalam Penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja

Pemerintah dianggap belum menerapkan prinsip good legislation making dalam penyusunan RUU Cipta Kerja. Alhasil, terdapat muatan RUU tersebut yang justru bermasalah.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU CIpta Kerja terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Foto: RES
Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU CIpta Kerja terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Foto: RES

Omnibus law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja terus menjadi polemik karena terdapat pertentangan dari berbagai pihak yang menganggap rancangan aturan tersebut bermasalah dari sisi penyusunan hingga muatan pasal. Di sisi lain, pemerintah tetap menginginkan rancangan aturan tersebut segera disahkan demi menggenjot investasi yang diharapkan berimplikasi terhadap ekonomi nasional.

Direktur Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Stepahine Juwana, mengatakan pemerintah belum menerapkan penyusunan legislasi secara baik atau good legislation making sehingga muatan rancangan aturan tersebut bermasalah. Berdasarkan analisis IOJI, dia menjelaskan rancangan aturan tersebut tidak menerapkan keberlanjutan ekonomi dan bertentangan dengan Undang Undang Dasar. Kemudian, rancangan aturan tersebut juga mencabut sejumlah kewenangan pemerintah daerah dan mengalihkannya ke pusat.

Stephanie juga menambahkan partisipasi publik juga minim terhadap perumusan RUU tersebut. “Saat menganalisis, kami temukan ketidaksesuaian dengan UU 1945, Pasal 33 ayat 4. Kami lihat pasal-pasal yang melemahkan keberlanjutan dan pasal 18 (UUD 1945) berupa penarikan kewenangan ke pemerintah pusat dan ada juga (minimnya) partisipasi publik,” jelas Stephanie dalam Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU Cipta Kerja Terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Rabu (19/8).

Dia menjelaskan metode penyusunan UU omnibus law memiliki ragam kelemahan di berbagai negara seperti Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru dan Jerman. Permasalahan tersebut antara lain rancangan tersebut sulit dikaji mendalam, minimnya partisipasi publik, rawan ditunggangi kelompok tertentu, tidak sesuai dengan judul UU, gemuk muatan hingga penggunaan metode omnibus law yang berlebihan. (Baca: 3 Dampak RUU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan)

Sayangnya, permasalahan metode omnibus law di berbagai negara tersebut juga terdapat pada RUU Cipta Kerja. Sebab, Stephanie menjelaskan ruang lingkup RUU Cipta Kerja sangat luas sehingga pembahasannya tidak optimal. Selain itu, dia juga mengatakan terdapat pelemahan penegakan hukum dalam RUU Cipta Kerja tersebut.

Atas persoalan tersebut, Stephanie mengatakan IOJI menyarankan pemerintah dan DPR perlu menarik RUU Cipta Kerja dari proses pembahasan, menata ulang ketentuan pasal-pasal rancangan aturan tersebut, menghilangkan pasal-pasal yang tidak relevan dan melaksanakan tahap penyusunan dan pembahasan ulang dengan melibatkan partisipasi publik.

Kemudian, dia mengatakan pemerintah bersama DPR perlu menetapkan persyaratan dan prosedur penyusunan omnibus law di Indonesia. Setidaknya, prosedur penyusunan tersebut memuat indikator-indikator yang menjadi dasar pertimbangan metode omnibus law. Lalu, omnibus law juga harus mengatur subjek persoalan, menghindari tunggangan kelompok tertentu dan memastikan keterlibatan publik.

Tags:

Berita Terkait