Bolehkah Ultra Petita di Vonis Pinangki? Ini Penjelasan Hukumnya
Berita

Bolehkah Ultra Petita di Vonis Pinangki? Ini Penjelasan Hukumnya

Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Terdakwa kasus penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/2). Foto: RES
Terdakwa kasus penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/2). Foto: RES

Pinangki Sirna Malasari, seorang jaksa fungsional Kejaksaan Agung RI divonis pidana penjara selama 10 tahun, denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan. Putusan ini jauh lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum yang meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menghukumnya dengan pidana penjara selama 4 tahun denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Ada satu hal menarik yang diutarakan majelis dalam pertimbangannya sebelum memberikan putusan ini. “Tuntutan yang diajukan penuntut umum terlalu rendah sedangkan putusan dalam diri terdakwa ini dianggap adil dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat,” ujar majelis hakim.

Lantas, apa yang menjadi ukuran bagi majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan? Bolehkah hakim menjatuhkan putusan yang ultra petita (melebihi apa yang dituntut)? 

Dalam Rumusan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (UUD 1945) adalah “Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan, UU Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan, ‘Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat’. Rumusan ini tidak mengalami perubahan dalam UU No. 35 Tahun 1999.

Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan: “Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”

Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan; Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya. (Baca: Ultra Petita Putusan Jaksa Pinangki, Apa Pertimbangan Majelis?)

Seorang hakim menuliskan dalam bukunya bahwa putusan pemidanaan (veroordeling) dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP tersebut dapat terjadi jika ada 3 hal berikut ini. Pertama dari hasil pemeriksaan di depan persidangan. Kedua, majelis berpendapat perrbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, merupakan lingkup tindak pidana kejahatan (misdrijven) atau pelanggaran (overtredingen) dan dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta di persidangan sesuai Pasal 183 dan 184 ayat (1) KUHAP. Serta ketiga oleh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa.

Tags:

Berita Terkait