Ada Kesenjangan Norma dan Praktik Penahanan dalam KUHAP
Utama

Ada Kesenjangan Norma dan Praktik Penahanan dalam KUHAP

Karena ada kelemahan norma dalam KUHAP. Penerapannya menimbulkan ketidakadilan akibat kekeliruan penafsiran aturan di bawahnya dan praktiknya di lapangan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Selama ini praktik penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana merujuk pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sudah puluhan tahun berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini, implementasinya tak sesuai harapan. Sebab, praktik penahanan oleh aparat penegak hukum tak sedikit yang melenceng dari norma yang tertuang dalam KUHAP tersebut.

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnamasari menilai terdapat kesenjangan antara norma dan praktik penahanan di periode 2020. Penahanan bukanlah suatu keharusan atau mandatory sebagaimana diatur Pasal 21 KUHAP. Tapi praktiknya, bila ditemukan prasyarat untuk dapat menahan seseorang, penyidik pun segera melakukan penahanan.

Era menerangkan KUHAP mengatur penahanan, khususnya di rumah tahanan negara (Rutan). Penyidik dalam praktiknya, jarang menerapkan opsi jenis penahanan rumah dan tahanan kota. Penjelasan KUHAP Pasal 22 ayat (1) menyebutkan, “Selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa di tempat lain”. Dengan kata lain, penahanan di kantor kepolisian merupakan tempat penahanan sementara hingga adanya Rutan negara.

“Tapi, memang praktiknya penyidik cenderung menahan tersangka di kantor kepolisian,” ujar Era Purnamasari dalam “Peluncuran Laporan Penelitian Praktik Penahanan di Indonesia” secara daring, Kamis (11/2/2021) kemarin. (Baca Juga: KUHAP Ikut Melanggengkan Praktik Penyiksaan)

KUHAP juga mengatur hak pengacara/penasihat hukum bertemu dengan kliennya untuk pemberian bantuan hukum. Dalam praktiknya pengacara sulit menemui kliennya. Padahal dalam Pasal 54 KUHAP menyebutkan, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”

Dia menilai praktik penahanan yang dilakukan aparat penegak hukum akibat adanya kelemahan dalam KUHAP. Sebab, penerapannya menimbulkan ketidakadilan akibat kekeliruan penafsiran aturan di bawahnya dan praktiknya di lapangan. Seperti Peraturan Kapolri No.6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan.

Era menilai, Perkap 6/2019 menempatkan penyelidikan sebagai bagian dari penyidikan. Hal itu merujuk pada Pasal 10 ayat (1) yang menyebutkan, “Kegiatan penyidikan tindak pidana terdiri atas: a. penyelidikan; b. dimulainya penyidikan; c. upaya paksa; d. pemeriksaan; e. penetapan tersangka; f. pemberkasan; g. penyerahan berkas perkara; h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan i. penghentian penyidikan”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait