Upaya Menyelamatkan Debitor Pailit Pasca Ditolaknya Perdamaian
Kolom

Upaya Menyelamatkan Debitor Pailit Pasca Ditolaknya Perdamaian

​​​​​​​Beberapa perkara kepailitan sukses melalui pendekatan yang diambil oleh pengadilan dalam mengesahkan perdamaian di kepailitan yang berasal dari gagalnya perdamaian dalam PKPU.

Kolase foto dari kiri: Jesconiah Siahaan dan Yoga Baskara Yogyandi. Foto: Istimewa
Kolase foto dari kiri: Jesconiah Siahaan dan Yoga Baskara Yogyandi. Foto: Istimewa

Hukum kepailitan Indonesia mengenal perdamaian, baik dalam suatu proses kepailitan maupun penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Perdamaian dalam suatu proses kepailitan bukan merupakan hal yang lazim diatur dalam hukum kepailitan negara-negara lain. Pada umumnya, hukum kepailitan di negara lain menentukan bahwa debitor tidak lagi berhak menawarkan perdamaian (composition plan) setelah debitor tersebut dinyatakan berada dalam pailit. (Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 tahun 2004 Tentang Kepailitan, cet.IV, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 20), hal. 407-408).

Perdamaian yang ditawarkan oleh debitor pailit diatur dalam Bagian Keenam Bab I, Pasal 144 sampai dengan Pasal 177 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004). Meskipun demikian, Pasal 292 UU 37/2004 mengatur beberapa kondisi tertentu dimana debitor tidak diperbolehkan mengajukan perdamaian dalam proses kepailitan, khususnya pada kepailitan yang merupakan akibat dari gagalnya proses PKPU.

Dalam praktiknya, pengaturan Pasal 292 UU 37/2004 tersebut telah memberikan ketidakjelasan dan ketidakseragaman putusan Pengadilan Niaga terutama pada perdamaian yang ditawarkan dalam suatu kepailitan yang berasal dari penolakan perdamaian di dalam proses PKPU. Dari perkembangan praktik ini, pertanyaan utama yang perlu dicermati adalah: apakah debitor masih dapat mengajukan rencana perdamaian kedua kalinya dalam proses kepailitan setelah ditolaknya perdamaian dalam PKPU?

UU 37/2004 mengatur bahwa kepailitan tidak hanya dapat bersumber dari suatu putusan pengadilan yang mengabulkan suatu permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditor (atau debitor), melainkan juga  dari suatu proses PKPU yang tidak berakhir dengan disahkannya perjanjian perdamaian yang telah disetujui oleh kreditor. Proses PKPU yang berujung kepailitan dimaksud dapat bersumber dari:

  1. Penolakan pemberian PKPU tetap atau perpanjangannya (Pasal 230 UU 37/2004);
  2. PKPU diakhiri atas permintaan Hakim Pengawas, Pengurus, kreditor atau prakarasa pengadilan (Pasal 255 UU 37/2004);
  3. Tidak tercapainya persetujuan terhadap rencana perdamaian dalam proses PKPU (Pasal 281 jo. 289 UU 37/2004);
  4. Pengadilan menolak mengesahkan perdamaian yang telah disetujui oleh kreditor dalam proses PKPU (Pasal 285 ayat (3) UU 37/2004);
  5. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan pengesahan perjanjian perdamaian (Pasal 285 ayat (4) UU 37/2004); dan
  6. Pengadilan membatalkan suatu perdamaian yang telah disahkan karena debitor lalai memenuhi isi perdamaian (Pasal 291 UU 37/2004).

Untuk kepailitan yang bersumber dari suatu putusan pernyataan pailit sebagaimana disebutkan dalam huruf d, e dan f di atas, Pasal 292 UU 37/2004 telah menyatakan secara tegas bahwa debitor tidak lagi dapat menawarkan suatu perdamaian. Dalam hal demikian, berdasarkan penjelasan Pasal 292 UU 37/2004, maka setelah diucapkannya putusan pernyataan pailit, debitor langsung berada dalam keadaan insolvensi (keadaan tidak mampu membayar).

Secara argumentum a contrario, maka berdasarkan Pasal 292 tersebut dapatlah ditafsirkan bahwa debitor dapat mengajukan perdamaian di dalam proses kepailitan dalam hal (i) ditolaknya pemberian PKPU tetap atau perpanjangannya dan (ii) PKPU diakhiri atas permintaan Hakim Pengawas, Pengurus, kreditor atau prakarasa pengadilan. Perlu menjadi perhatian bahwa pada kedua sebab kepailitan tersebut debitor memang belum mengajukan rencana perdamaian atau setidaknya kalaupun sudah diajukan, pastilah belum dilakukan pemungutan suara (voting) terhadapnya.

Tags:

Berita Terkait