Pasal Advokat Curang dalam RUU KUHP Perlu Dikaji Ulang
Utama

Pasal Advokat Curang dalam RUU KUHP Perlu Dikaji Ulang

Karena Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP dinilai bersifat diskirminatif yang seharusnya diberlakukan terhadap penegak hukum lain. Karena itu, perlu dikaji dari aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ahmad Supardji mengatakan rumusan norma Pasal 282 dan Pasal 515 draf RUU KUHP terkait pemidanaan terhadap advokat yang berbuat curang dan manipulasi (tidak jujur) semestinya perlu dikaji secara filosofis, sosiologis, dan yuridis. Misalnya, ditinjau aspek filosofis, harus dikaji mendalam soal urgensi pengaturan itu.

Secara yuridis, harus memperhatikan pengaturan advokat dalam UU 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai lex specialis. Sedangkan secara sosiologis, harus memperhatikan fenomena penegakan hukum secara umum (polisi, jaksa, hakim, advokat, red). Misalnya, kata Supardji, perbuatan curang pun dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum lain.

“Hal ini (perbuatan curang penegak hukum lain, red) perlu juga dituangkan dalam RUU KUHP dengan memperhatikan UU khusus. Misalnya, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” ujar Ahmad Supardji kepada Hukumonline, Selasa (22/6/2021). (Baca Juga: Pasal Advokat Curang Masuk 14 Materi Kontroversial RUU KUHP)  

Pasal 282

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V advokat yang dalam menjelankan pekerjaanya secara curang:

a. mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikann kepentingan pihak kliennya; atau

b. mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakimm dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

Pasal 515

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III:

a. advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan pailit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya; atau

b. suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud pada huruf a.

c. kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Menurutnya, pengaturan rumusan norma tentang sanksi bagi aparat penegak hukum hendaknya tidak bersifat diskriminatif, bahkan bisa over regulasi. Misalnya, khusus bagi aparat kepolisian perlu diatur sanksi dan ancaman hukuman bagi aparat kepolisian yang melakukan salah tangkap. Sebab praktik salah tangkap oleh aparat kepolisian seringkali terjadi. Ironisnya, kasus salah tangkap tanpa adanya sanksi hukuman bagi aparat kepolisian yang melakukan.

Dia beralasan pemidanaan bagi aparat kepolisian bila terjadi salah tangkap agar praktik penangkapan dilakukan secara cermat dan hati-hati dengan keharusan memperhatikan prosedur secara baik dan benar dan mencegah terajadinya kesewenang-wenangan. “Ini upaya mencegah praktik salah tangkap, sehinggaa perlu sanksi dan diatur mekanisme rehabilitasi dan ganti rugi akibat adanya salah tangkap. Sebagai rekodifikasi hukum pidana, perlu mengatur hal tersebut dan nanti ditindaklanjuti dalam revisi KUHAP,” harapnya.

Selain itu, penerapan pemidanaan terhadap advokat perlu mempertimbangkan aspek imunitas (kekebalan hukum) sepanjang saat menjalankan tugas profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan dilakukan secara baik dan benar, serta didasari iktikad baik. Pasal 15 UU 18/2003 menyebutkan, “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan Pasal 16 UU 18/2003 menyebutkan, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait