Guru Besar FH UGM Ungkap 7 Penyebab Munculnya Mafia Tanah
Utama

Guru Besar FH UGM Ungkap 7 Penyebab Munculnya Mafia Tanah

Mulai dari administrasi pertanahan belum terintegrasi; tanda bukti hak atas tanah belum tunggal; sikap abai pemilik terhadap sertifikat; kebijakan pemberian hak atas tanah bersifat liberal dan pengawasan lemah; berakhir atau hapusnya hak atas tanah belum sistematis; tingginya tingkat persaingan antar notaris/PPAT; dan lemahnya profesionalisme penegak hukum.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah terus memberi perhatian khusus terhadap berbagai kasus pertanahan yang berkaitan dengan mafia tanah. Bahkan, Presiden Jokowi telah menekankan agar pemerintah berkomitmen memberantas mafia tanah dan memerintahkan aparat penegak hukum bertindak tegas.

“Saya tidak ingin rakyat kecil tidak mempunyai kepastian hukum terhadap lahan yang menjadi sandaran hidup mereka. Saya juga tidak ingin para pengusaha tidak mempunyai kepastian hukum atas lahan usahanya,” kata Presiden dalam kegiatan penyerahan sertifikat redistribusi tanah objek reforma agraria di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (22/9/2021) lalu sebagaimana dikutip laman presidenri.go.id.

Atas fenomena ini, Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof Nurhasan Ismail, mengatakan upaya memberantas mafia tanah harus ditelusuri penyebabnya. Dia mencatat sedikitnya ada 7 penyebab munculnya mafia tanah. Pertama, belum terintegrasinya system administrasi pertanahan. Misalnya, letter C atau dokumen C tidak bisa digunakan lagi sebagai tanda bukti hak suatu bidang tanah, tapi praktiknya di pengadilan masih ada yang mengakui dokumen tersebut.

Begitu juga dengan wilayah di luar pulau Jawa, Nurhasan mengusulkan untuk meminimalisir mafia tanah, kepala desa atau ketua adat lebih baik tidak diberi kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan tanah (SKT) atau SKT Adat (SKTA). Tapi jika kewenangan itu tetap diberikan terlebih dulu harus dilakukan pembinaan.

“Banyak kasus dimana satu bidang tanah bisa memiliki lebih dari satu SKT yang dipegang oleh masing-masing orang yang berbeda-beda,” kata Prof Nurhasan Ismail dalam webinar bertajuk “Strategi Pemberantasan Mafia Tanah Demi Mewujudkan Kepastian Hukum dan Keadilan Sosial”, Selasa (9/11/2021). (Baca Juga: KY Butuh Bersinergi untuk Berantas Kasus Mafia Tanah di Pengadilan)  

Kedua, tanda bukti hak atas tanah belum tunggal. Nurhasan menekankan sertifikat bukan satu-satunya tanda bukti hak atas bidang tanah. Misalnya hak tanah adat, itu perlu bukti selain sertifikat seperti penguasaan tanah secara fisik selama puluhan tahun. Ketiga, belum ada sistematisasi yang baik ketika hak atas tanah berakhir, misalnya HGU untuk badan usaha. Nurhasan melihat seharusnya ada jeda waktu saat hak atas tanah itu berakhir dan menjadi tanah negara.

“Harus ada pedoman teknis yang menegaskan ketika hak atas tanah berakhir atau hapusnya hak atas tanah, maka dinyatakan statusnya sebagai tanah negara,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait