Calon Direktur LBH Jakarta, Berani Berdebat di Depan Publik
Berita

Calon Direktur LBH Jakarta, Berani Berdebat di Depan Publik

Tiga calon menganggap bantuan hukum struktural masih layak dipertahankan dalam gerakan LBH Jakarta.

Aru
Bacaan 2 Menit
Calon Direktur LBH Jakarta, Berani Berdebat di Depan Publik
Hukumonline

 

Kehadiran kelompok masyarakat ini membuktikan betapa lembaga yang didirikan advokat senior Adnan Buyung Nasution pada 1970-an ini memiliki tempat dihati masyarakat, khususnya warga Jakarta.

 

Entah apa yang menyebabkan antusiasme masyarakat untuk menghadiri sebuah debat publik sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang digelar secara sederhana. Ya, sederhana karena masing-masing pengunjung hanya dihadiahi makalah para calon dan satu kotak hidangan yang berisi dua-tiga potong makanan kecil dan segelas air mineral.

 

Antusiasme itu dapat dilihat dari banyaknya orang yang tidak kebagian tempat duduk yang disediakan panitia untuk sekitar enampuluhan orang. Padahal, asal tahu saja, masyarakat ini tidak mempunyai hak suara dalam pemilihan direktur LBH Jakarta.

 

Selain kelompok masyarakat yang bisa dikatakan marjinal atau termajinalkan itu, hadir pula alumni LBH Jakarta yang sudah menjadi ‘orang'. Semisal Ruhut Sitompul, Mas Achmad Santosa, Teguh Samudra dan Asep Yunan Firdaus. Dua nama terakhir bertindak selaku panelis dalam debat publik yang dimoderatori Willy, redaktur Warta Kota.

 

Untuk mengetahui bagaimana nasib LBH Jakarta untuk tiga tahun kedepan, berikut adalah sepenggal pemikiran tiga calon direktur yang dapat ditangkap hukumonline dalam sebuah forum yang menyajikan pemikiran tiga aktifis pejuang hukum dan hak asasi manusia. Sebuah forum hangat penuh dengan applaus dari pengunjung tapi jauh dari komentar yang saling menjatuhkan dari kandidat.

 

Urutan pemikiran calon ini ditulis bukan berdasarkan abjad atau senioritas. Tapi berdasarkan permainan ‘hompimpah' dari tiga calon. Berikut penggalannya:

 

Erna Ratnaningsih

Erna Ratnaningsih yang saat ini menjabat Wakil Direktur LBH Jakarta bisa dikatakan lebih senior ketimbang dua calon lainnya. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo ini adalah pengurus LBH Jakarta selain Uli yang merasakan krisis keuangan yang melanda LBH Jakarta dalam kurun 2002. Saat itu saya dan beberapa teman memilih bertahan daripada keluar, dan buktinya kita bisa keluar dari krisis, ucap Erna.

 

Beranjak dari krisis keuangan yang disebabkan pemutusan bantuan dari lembaga donor seperti Novib (Belanda), Triple Eleven (Belgia) dan Sida (Swedia), Erna menekankan pentingnya penggalangan dana untuk keberlanjutan operasional lembaga.

 

Ada tiga hal yang menurut Erna bisa dilakukan untuk menggalang dana. Yakni, mekanisme transfer klien dari alumni LBH Jakarta, pemberdayaan perpustakaan dan koperasi.

 

Selain menekankan pentingnya penggalangan dana, Erna dalam makalahnya yang berjudul Peran Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Dalam Transisi Demokrasi juga membahas Bantuan Hukum Struktural (BHS) dan pentingnya perubahan kebijakan. Khusus untuk perubahan kebijakan, program yang bisa dilakukan LBH Jakarta menurut Erna adalah kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang sarat kepentingan modal penguasa.

 

Selain itu, Erna yang juga tercatat dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pengacara Indonesia ini juga menekankan pentingnya menjalin hubungan yang baik dengan kalangan pers.

 

Relasi LBH-Pers ini menarik untuk dikaji. Bahkan mengacu pada makalah Margiyono, Sekretaris Jendral Aliansi Jurnalis Independen, LBH adalah satu-satunya LSM tempat nongkrongnya para wartawan. Tepatnya, di warung emak, terletak di depan kantor LBH dan disamping Kedutaan Inggris.

 

Terpilihnya LBH sebagai posko wartawan ini menurut Margiyono terjadi secara alamiah. Pasalnya, tempat ini menjadi saksi sejarah bagaimana pejuang demokrasi menyuarakan hak-haknya. Bahkan, saking hebatnya, LBH dijuluki sebagai lokomotif demokrasi. Frase yang berkali-kali diulang oleh Erna.

 

Asfinawati

Asfinawati, dara kelahiran Bitung ini sudah aktif dalam dunia organisasi sejak masih  mahasiswa. Dikampusnya, Asfinawati bergabung di Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini ia menjabat sebagai Koordinator Penanganan Kasus LBH Jakarta.

 

Saat menyampaikan pemikirannya, hal pertama yang diulas Asfinawati adalah pemaknaan ulang terhadap berdirinya LBH Jakarta. Meski saat ini menganggap LBH Jakarta tidak melanggar platform saat awal pendiriannya, namun Asfinawati melihat ada kesalahan manajerial dalam tubuh LBH.

 

Kedepan, urai Asfinawati, LBH Jakarta harus membuat program yang berbasis komunitas dan berujung pada perubahan kebijakan. Dalam program berbasis komunitas tersebut, urai Asfinawati, LBH harus secara perlahan mendistribusikan peran kepada komunitas.

 

Soal perubahan kebijakan, Asfinawati mengkritik kiinerja LBH Jakarta yang hanya membicarakan kasus sebagai pintu masuk tetapi tidak didukung pintu keluar. Hal ini diakibatkan dari penumpukan kasus di LBH Jakarta dan kesulitan menentukan skala prioritas penyelesaiannya. Diketahui, rata-rata LBH Jakarta menerima seribu kasus per tahun.

 

Membahas soal BHS, Asfinawati tetap menganggap BHS itu penting. Hanya saja, saat ini perlu dikaji ulang apa yang dimaksud dengan BHS. Tidak hanya orang LBH yang tahu istikah itu (BHS, red), tapi ketika saya masuk ternyata masing-masing orang punya pemikliran sendiri soal itu, cetusnya

 

Sayang, Asfinawati tidak membagi-bagikan makalah yang ia buat kepada audiens. Hal ini berbeda dengan dua kandidat lain yang telah menyiapkan makalahnya beberapa saat sebelum acara debat dimulai.

 

Taufik Basari

Taufik Basari, satu-satunya calon yang berjenis kelamin laki-laki ini bisa dikatakan tampil paling menarik. Sesaat sebelum memaparkan pemikirannya, Taubas, panggilan akrabnya meminta ijin untuk menyampaikan pemikirannya dengan berdiri. Biar lebih komunikatif, saya bisa melihat anda, anda bisa melihat saya, tukasnya beralasan.

 

Tidak banyak yang disampaikan Taubas dalam penyampaiannya yang diberikan waktu 10 menit oleh moderator itu. Beberapa hal yang bisa ditangkap dari penyampaian Taubas adalah pentingnya memenangkan kasus yang ditangani LBH Jakarta.

 

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mengaku gerah dengan sindiran beberapa kalangan yang mencibir LBH Jakarta sebagai tukang gugat tetapi tidak pernah menang. Sehingga, entah besar atau kecil kasus itu, LBH Jakarta tutur Taubas, harus berusaha memenangkannya. Jangan sampai LBH Jakarta hanya menerima perkara tanpa berusaha memenangkannya, tukasnya. 

 

Sama seperti Erna, Taubas juga mengungkapkan pentingnya masalah pendanaan untuk menyambung hidup LSM yang terletak di Jalan Diponegoro tersebut. Menurutnya, sudah saatnya LBH Jakarta berkonsentrasi menggali dana dari dalam negeri.

 

Dana tersebut bukan didapat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, tapi dari badan khusus yang dibentuk LBH Jakarta. Misalnya saja, dibentuk Badan Mitra LBH Jakarta yang terdiri dari alumni, klien dan masyarakat yang peduli terhadap LBH Jakarta.

 

Menyinggung soal BHS, sama seperti calon direktur lain, Taubas yang menggondol gelar LLM dari Northwestern University, Chicago ini juga memandang BHS masih relevan untuk dipertahankan. Selain mempertahankan BHS, hal lain yang diperhatikan menurut Taubas adalah agar LBH Jakarta sebagai LSM menggunakan pendekatan hukum dalam gerakannya.

 

Demikian sedikit yang bisa ditangkap dalam acara debat publik calon direktur LBH Jakarta itu. Selanjutnya, usai debat publik, akan digelar acara utama. Yakni pemungutan suara, penghitungan dan pengumuman hasil pemungutan suara pada 28 Juli 2006. setelah diketahui siapa pemenangnya, baru pada 15 Agustus 2006 digelar acara serah terima jabatan dari Direktur lama ke direktur baru. Selamat  bersuksesi LBH Jakarta.                                                

Kami tidak ingin Direktur bermuka dua yang menjual kasus, kami ingin direktur yang sedarah dengan kami, demikian yel-yel yang terdengar ketika hukumonline memasuki pelataran kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa (25/7). Adalah puluhan orang tergabung dalam Forum Warga Kampung Pilar Tertindas (Forwapi)  yang meneriakkan yel-yel tersebut.

 

Rupanya, aksi yang mereka gelar ini berkaitan dengan suksesi kepemimpinan LBH Jakarta. Ya, terhitung sejak 13 Juli 2006, LBH Jakarta mulai menggelar pemilihan direktur baru untuk menggantikan direktur lama, Uli Parulian Sihombing.

 

Forwapi ini hanya sebagian kecil kelompok yang turut meramaikan suksesi kepemimpinan LBH Jakarta yang kebetulan, saat itu menggelar ajang debat publik calon direktur. Selain mereka, kelompok masyarakat lain, misalnya kelompok korban stigma Partai Komunis Indonesia, juga memadati acara debat publik untuk mendengar visi, misi, program dan pikiran dari tiga calon direktur LBH Jakarta periode 2006-2009.

 

Tiga calon itu adalah Erna Ratnaningsih, Wakil Direktur, Taufik Basari, Koordinator Bidang Studi dan Kebijakan, Asfinawati, Koodinator Bidang Penanganan Kasus.

Tags: