Keamanan dan Keselamatan Tamu Hotel, Tanggung Jawab Siapa?
Utama

Keamanan dan Keselamatan Tamu Hotel, Tanggung Jawab Siapa?

Tamu hotel adalah konsumen dalam sebuah industri perhotelan. Sementara, peraturan perundang-undangan menjelaskan badan usaha hotel harus bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan tamu hotel. Praktiknya?

IHW
Bacaan 2 Menit
Keamanan dan Keselamatan Tamu Hotel, Tanggung Jawab Siapa?
Hukumonline

 

Sudaryatmo berpendapat, semua permasalahan yang dikeluhkan oleh pengguna jasa perhotelan tersebut, sebenarnya masuk dalam  konteks perlindungan konsumen. Artinya jika dikontekskan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen, kedudukan tamu hotel adalah sebagai konsumen. Sementara pihak hotel dalam hal ini berkedudukan sebagai pelaku usaha.

 

Implikasinya, masih menurut Sudaryatmo, pihak hotel selaku pelaku usaha harus memberikan pelayanan terbaiknya kepada konsumen. Jika tidak, berdasarkan Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), maka konsumen berhak menuntut ganti rugi.

 

Pernyataan Sudaryatmo tampaknya memang bukan tanpa dasar. Selain terdapat di dalam UU Perlindungan Konsumen, masalah perlindungan terhadap jaminan keamanan dan keselamatan tamu hotel juga diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 Pasal 62 Ayat (2) tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Pasal itu menyatakan secara gamblang bahwa badan usaha hotel bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan tamu hotel.

 

Hotel Grand Hyatt Bali digugat

Mungkin hal ini yang mengilhami Yudianta MN Simbolon untuk menggugat Hotel Grand Hyatt Bali. Disebutkan oleh Yudi, demikian ia biasa disapa, perkara ini berawal ketika kliennya, Filomena Maria Alves Ribeiro Laia Mcguire, seorang perempuan warga negara Portugal sedang berlibur ke Bali. Ia (Filomena, red) berlibur ke Bali bersama suami dan kedua anaknya pada bulan April 2004 lalu, terang Yudi.

 

Petaka terjadi ketika pada tanggal 8 April 2004 pagi hari, Filomena yang hendak menuju ke kamar mandi hotel, tiba-tiba jatuh terpeleset. Menurut penuturan Filomena, Yudi menambahkan, Filomena terpeleset setelah menginjak genangan air yang berada di luar kamar mandi. Genangan air itu disebabkan bocornya AC (Air Conditioner, pendingin udara, red) yang ada di kamar itu, jelasnya.

 

Lebih jauh Yudi menggambarkan, akibat peristiwa itu Filomena yang berdomisil di Macau, harus mendapatkan perawatan serius. Selama enam minggu Filomena harus istirahat total (bed rest), dilanjutkan dengan beristirahat total di rumah selama dua bulan. Penderitaan Filomena masih berlanjut karena selama lima bulan, ia hanya menjalani pekerjaannya separuh waktu. Selain itu, ia juga harus menjalani fisioterapi sebanyak tiga kali dalam seminggu, imbuhnya.

 

Atas penderitaan yang dialaminya, Filomena melalui kuasa hukumnya di Macau telah menyampaikan teguran untuk meminta perhatian dan pertanggungjawaban pihak hotel. Namun hingga hari ini, pihak hotel tidak memberikan respon positif. Jalur hukum pun terpaksa dilakoni Filomena.

 

Setelah tiga kali mengajukan somasi dan hasilnya nihil, Yudi pun akhirnya mengajukan gugatannya ke PN Jakarta Selatan. Sebenarnya kami tidak ingin menyelesaikannya di persidangan. Namun apa daya, pihak hotel sama sekali tidak menggubris teguran dari kuasa hukum Filomena di Macau maupun somasi yang kami layangkan, Yudi menuturkan.

 

Dalam berkas gugatan, Yudi menggugat PT Wynncor Bali selaku pemilik dan pengelola Hotel Grand Hyatt Bali sebagi tergugat. Sementara pada bagian posita-nya, Yudi menilai tindakan para tergugat telah melanggar ketentuan UU No 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan jo. Pasal 62 Ayat (2) PP Penyelenggaraan Kepariwisataan. Dan yang lebih jelas lagi adalah melanggar UU Perlindungan Konsumen, cetusnya.

 

Sampai berita ini diturunkan, pihak PT Wynncor Bali belum berhasil dimintai [konfirmasi]. Bagian legal-nya, Ismail, sedang online dan tidak kunjung menghubungi kembali hukumonline.

 

Ditanya pendapatnya mengenai perkara ini, Sudaryatmo menyatakan ada dua hal yang patut dicermati. Pertama, apakah pihak hotel telah memberikan peringatan terlebih dahulu atau tidak perihal genangan air tersebut. Kedua,  apakah pihak hotel langsung memberikan pertolongan pertama yang memadai atau tidak atas kejadian itu? papar Sudaryatmo.

 

Menurut Sudaryatmo, jika pihak hotel tidak memberikan peringatan terlebih dahulu mengenai bocornya salah satu AC yang menyebabkan terjadinya genangan air, Maka itu dapat dikategorikan sebagai cacat tersembunyi, tegasnya. Padahal sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 9 UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang menawarkan barang yang mengandung cacat tersembunyi. Artinya, jika pelaku usaha terbukti melakukan hal itu, konsumen berhak mengajukan ganti rugi.

 

Namun, Sudaryatmo melanjutkan, ketika pihak hotel sudah memberikan perihal genangan air itu, maka 'bolanya' kini berpindah ke tangan tamu hotel. Terserah konsumennya. Kalau ia tetap memilih kamar itu, maka si konsumen harus siap dengan segala konsekuensinya.

 

Kendati demikian, menurut Sudaryatmo, terlepas informasi mengenai genangan air itu sudah disampaikan atau belum ke pihak tamu, pihak hotel tetap berkewajiban untuk memberikan pertolongan pertama. Karena tamu sebagai konsumen sudah membayar kepada pihak hotel. Selain itu, kejadiannya kan berlangsung di areal hotel, jadi sudah selayaknya pihak hotel memberikan emergency respon secara memadai, terangnya.

 

Prinsipnya, lanjut Sudaryatmo, setiap konsumen berhak untuk mendapatkan informasi mengenai barang atau jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Selain itu, konsumen juga berhak untuk memilih setiap barang maupun jasa yang akan dikonsumsinya. Tidak hanya itu, konsumen juga berhak atas jaminan keselamatan, keamanan dan kenyamanan. Sehingga jika jaminan itu dirampas, konsumen juga berhak menuntut ganti rugi, paparnya.

 

YLKI juga jadi korban

Tak pernah terbayangkan oleh kita semua bahwa kini YLKI harus mengadvokasi dirinya sendiri. Tulus Abadi, pengurus harian YLKI yang lain bercerita kepada hukumonline bahwa YLKI saat ini sedang bersengketa dengan salah satu hotel di Surabaya. Perselisihan YLKI dan hotel itu, saat ini masih bergulir di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

 

Kisah unik ini dimulai ketika YLKI sedang menggelar sebuah acara di hotel itu. Tulus menuturkan, ketika ia kembali ke kamarnya selepas mengisi perut, ia terkejut atas pemandangan yang ada di hadapannya. Properti YLKI seperti laptop, in focus (proyektor digital, red) dan kamera digital raib dari kamar saya. Padahal sebelumnya semua disimpan di kamar itu dan dalam keadaan terkunci ketika saya tinggalkan. Kerugian yang kami alami ditaksir mencapai dua puluh lima juta rupiah, ungkapnya.

 

Singkatnya, pihak hotel tidak bersedia untuk mengganti rugi kerugian YLKI. Menurut Tulus, pihak hotel berlindung di balik klausula baku yang menyatakan bahwa hotel tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan barang milik tamu hotel. Rata-rata semua pelaku usaha berlindung di balik dalil ini. Oleh karenanya kami sekarang sedang menguji ketentuan itu di BPSK. Padahal Pasal 18 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen sudah melarang pelaku usaha menerapkan klausula baku, tandasnya.

Pembahasan mengenai jaminan keamanan dan keselamatan atas tamu hotel menjadi suatu hal yang menarik untuk diperbincangkan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat,  akhir-akhir ini ada beberapa aduan dari masyarakat yang mengeluhkan pelayanan hotel dalam menjamin keamanan dan keselamatan konsumennya.

 

Terakhir kemarin (23/7), YLKI menerima aduan dari masyarakat mengenai pelayanan satu hotel di daerah Pacet yang tidak prima, terutama dalam hal keamanan, tutur Sudaryatmo. Selain itu, anggota pengurus harian YLKI ini juga memberikan contoh dimana harian Kompas pernah menuliskan perkara serupa yang terjadi pada salah satu hotel di Cibinong, Jawa Barat.

 

Contoh-contoh yang tadi saya sebutkan menandakan bahwa ada masalah penting di dalam industri perhotelan kita. Yaitu masalah jaminan perlindungan mengenai keamanan, kenyamanan dan keselamatan yang diberikan pihak hotel kepada para tamunya, ungkap Sudaryatmo.

Tags: