Kriminalisasi Pers dalam RUU Pemilu Legislatif Dikecam
Berita

Kriminalisasi Pers dalam RUU Pemilu Legislatif Dikecam

Usulan pemerintah yang melarang kegiatan pers selama masa tenang bisa jadi didasarkan pada pengalaman buruk pada penyelenggara pemilu sebelumnya.

Rzk
Bacaan 2 Menit
Kriminalisasi Pers dalam RUU Pemilu Legislatif Dikecam
Hukumonline

 

Hendra menunding pasal pengkriminalisasian dalam RUU tersebut merupakan upaya pemerintah untuk membungkam dan mengebiri pers yang kritis. Langkah ini sangat disayangkan karena pers sebenarnya justru mempunyai peranan penting dalam melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

 

Pada akhirnya, LBH Pers menuntut DPR untuk segera mencabut ketentuan pasal kriminalisasi terhadap pers dalam RUU Pemilu Legislatif, terutama Pasal 103 ayat (3) dan Pasal 260. Meskipun begitu, LBH Pers menyadari komunitas pers bukanlah malaikat, kesalahan mungkin saja terjadi. Untuk itu, LBH Pers meminta kepada semua pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan menempuh prosedur penyelesaian melalui hak jawab, hak koreksi atau mengajukan kepada organisasi wartawan dan atau  Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU Pers.

 

Tuntutan reformasi

Teriakan LBH Pers mendapat sedikit angin positif dari salah seorang anggota Pansus. Dihubungi via telepon (25/7), Patrialis Akbar mengatakan sejauh ini Pansus belum membahas pasal yang dipersoalkan LBH Pers. Namun begitu, Patrialis senada dengan sikap LBH Pers menentang upaya kriminalisasi dan pengekangan pers dalam RUU Pemilu Legislatif.

 

Ini jelas bertentangan dengan tuntutan reformasi yang salah satunya adalan jaminan atas kemerdekaan pers, ujarnya. Anggota DPR dari FPAN ini berjanji akan berupaya semaksimal mungkin dalam Pansus untuk menghapuskan ketentuan tersebut dari RUU. Walaupun tidak dapat memastikan jumlahnya, Patrialis yakin sejumlah anggota Pansus juga akan berjuang menyelamatkan pers dari upaya kriminalisasi dan pengekangan.

 

Patrialis berpandangan pers justru seharusnya digandeng dalam penyelenggaraan pemilu karena pers merupakan salah satu instrumen yang cukup efektif untuk mengawasi pemilu. Tentunya, peran ini dapat berjalan apabila pers benar-benar memegang teguh prinsip independensi dan ketidakberpihakan. Apabila ada pemberitaan yang tidak benar apalagi ada indikasi fitnah atau pencemaran nama baik itu kategorinya sudah tindak pidana, jadi kebebasan pers tetap harus didasarkan pada akuntabilitas, lanjutnya.

 

Untuk jenis perbuatan tersebut di atas, Patrialis tidak sepakat apabila diselesaikan melalui mekanisme hak jawab sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dia menegaskan jenis perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana harus diselesaikan sesuai ketentuan pidana yang berlaku. Sementara, mekanisme hak jawab menurut pemahamannya berlaku untuk kesalahan penulisan.

 

Pengalaman buruk

Sementara itu, Hadar Gumay dari CETRO mengatakan usulan pemerintah yang melarang kegiatan pers selama masa tenang bisa jadi didasarkan pada pengalaman buruk pada penyelenggara pemilu sebelumnya. Pasalnya, ketentuan seperti ini tidak terdapat dalam UU yang lama, UU No. 22 Tahun 2003. Berdasarkan catatan Hadar, pada Pemilu Presiden tahun 2004 lalu memang sempat terjadi dimana sebuah media elektronik menyalahi aturan karena masih menayangkan kampanye salah satu kandidat meskipun tidak lagi diperkenankan.

 

Hadar cenderung setuju dengan ketentuan ini karena masa tenang adalah masa yang krusial dimana pemilih masih bisa dipengaruhi. Oleh karenanya, dia memandang cukup berlalasan apabila ada larangan tersebut karena media massa tidak dapat dipungkiri adalah alat yang cukup ampuh untuk mempengaruhi pemilih. Faktanya, memang ada sejumlah media yang secara jelas menunjukkan keberpihakan apalagi di daerah-daerah,' tandasnya.

 

Walaupun relatif setuju, Hadar mengkritik adanya ketentuan yang memberikan sanksi pidana penjara dan denda. Menurutnya, segala pelanggaran hukum yang berkaitan dengan pers seharusnya dikembalikan pada mekanisme yang berlaku menurut UU Pers seperti mekanisme hak jawab atau mekanisme etik di Dewan Pers. Kalau berita saja sih sebenarnya tidak masalah asal mereka tidak menunjukkan keberpihakan pada salah satu calon, sifatnya jangan kampanye dan seharusnya jangan diberlakukan sanksi pidana, kembalikan pada mekanisme pers sendiri, ujar Hadar menegaskan lagi sikapnya.

 

Kebebasan pers lagi-lagi terancam oleh sebuah ketentuan dalam undang-undang. Kali ini walaupun masih dalam bentuk rancangan, ancaman tersebut datang dari RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD atau lazim disebut Pemilu Legislatif. LBH Pers melalui siaran persnya menyatakan menolak keras upaya kriminalisasi pers dalam RUU yang rencananya akan menggantikan UU No. 22 Tahun 2003 ini.

 

Protes keras LBH Pers dialamatkan pada ketentuan Pasal 103 ayat (3) RUU tersebut yang melarang media massa menyiarkan berita, iklan, rekam jejak peserta pemilu atau bentuk lainnya yang mengarah kepentingan kampanye yang menguntungkan dan/atau merugikan peserta pemilu. Ketentuan ini semakin menyeramkan karena pada Pasal 260 ditetapkan sanksi pidana penjara dan denda bagi pemimpin redaksi yang melanggar larangan tersebut.

 

Pasal 260

Setiap pemimpin redaksi media cetak dan elektronik yang melanggar larangan pemberitaan kampanye pada masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

 

RUU Pemilu Legislatif yang diusulkan pemerintah sangat membahayakan kebebasan pers yang sudah dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi Pasal 28 F dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, ujar Hendrayana, Direktur Eksekutif LBH Pers.

 

Secara spesifik, Hendra menilai ketentuan dalam RUU tersebut bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) dan (3) yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Pers nasional juga mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Karenanya pasal yang terdapat dalam RUU Pemilu Legislatif tersebut batal demi hukum, tegasnya.

Tags: