Korban Lumpur Lapindo Tempuh Jalur Judicial Review
Berita

Korban Lumpur Lapindo Tempuh Jalur Judicial Review

Menolak menjual tanah mereka kepada PT Lapindo, sebagian warga korban lumpur di Sidoarjo mengajukan judicial review Perpres BPLS ke MA.

NNC
Bacaan 2 Menit
Korban Lumpur Lapindo Tempuh Jalur <i>Judicial Review</i>
Hukumonline

 

Model penyelesaian itu mereka nilai justru sebuah keuntungan bagi pihak Lapindo. Sebab, selain mendapat tambahan asset perusahaan berupa tanah, perusahaan itu juga jadi bebas dari urusan program pemulihan trauma psikologis para korban. Kerugian yang diderita korban hanya dianggap sebagai hilangnya tempat tinggal semata, padahal lebih dari itu, kerugian berupa trauma psikologis, hilangnya harapan hidup, rusaknya fasilitas umum, seharusnya menjadi bagian dari itu.

 

Menurut pemohon, pembentukan Perpres tidak sejalan dengan asas-asas utama yang diatur dalam UU No. 10/2004 Dalam UU itu, ditentukan bahwa setiap produk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan asas keadilan secara proporsional dan asas kekeluargaan berdasarkan permusyawaratan, ujar Astuti.

 

Ketidakadilan yang dimaksud adalah posisi tawar korban yang harus menerima mentah-mentah baik cara penaksiran pembelian tanah dan bangunan mereka maupun cara pembayaran tanah. Padahal, menurut para pemohon, dalam setiap jual beli dalam keadaan biasa pun kedua belah pihak harus sama-sama dalam keadaan bebas membuat kesepakatan. Dalam hal ini, kata Astuti, Asas kebebasan berkontrak (pacta sunct servanda-red) juga terlanggar. Korban ditempatkan dalam posisi take it or Leave it atas skema pengganti rugian. Itulah kenapa para pemohon memasukkan Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata soal perikatan juga dimasukkan sebagai Ketentuan yang dilanggar.

 

Astuti menambahkan, ke-39 warga yang mengajukan HUM tersebut menolak skema ganti rugi dengan cara jual beli dan hingga kini bersikukuh tidak menyerahkan sertifikat hak milik  kepada Lapindo. Sampai saat ini, warga yang telah menyerahkan sertifikat mereka baru mendapatkan 20 persen pembayaran sesuai dengan skema teknis pembayaran yang dibuat Lapindo yang belum ada kejelasan untuk  pelunasannya, jelas Astuti.

 

Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi YLBHI Taufik Basari menambahkan, "Uang muka sebesar 20% itu tidak cukup untuk menunjang biaya hidup mereka sehari-hari. Sehingga mereka tetap saja sengsara dan tidak punya modal untuk memulai hidup baru yang layak."

Di balik semua itu, roh utama dari permohonan ini adalah terlanggarnya hak-hak asasi manusia seperti dijamin dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Lebih jauh, UU ini menegaskan bahwa hak milik seseorang tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang oleh siapapun.

 

Langgar ketentuan pokok agraria

UU Pokok Agraria  yang kemudian dilaksanakan melalui PP Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah melarang perusahaan swasta semacam Lapindo  memegang hak milik atas tanah. Menurut PP itu, badan hukum yang berhak memiliki hak milik atas tanah antara lain bank-bank milik negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan-badan sosial atas penunjukan Menteri Agraria.

 

Taufik Basari mengatakan, para pemohon berharap MA segera memutus permohonan uji materiil tersebut. Sebab, kelanjutan hidup para korban kini terkatung-katung dengan skema pembayaran yang tak jelas. "Kami tahu bahwa perkara permohonan uji materiil biasanya lama ditangani oleh MA. Karena ini berkaitan dengan dengan nasib para korban kami minta agar bisa dipercepat," ujarnya.

 

Dalam petisi yang dibuat oleh YLBHI, mereka mendesak pemerintah dan DPR untuk mencabut Perpres BPLS dan segera menerbitkan kebijakan baru yang lebih adil dan melibatkan korban sebagai pihak yang setara. Ia berharap, tanpa perlu para korban mengajukan uji materiil terhadap Perpres BPLS, Presiden mestinya sudah menyadari bahwa Perpres itu cenderung melindungi Lapindo dan merugikan rakyat. Hingga kini, kasus lumpur Lapindo masih dalam proses  di PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan.  

Tak kenal menyerah memperjuangkan hak, 39 warga korban lumpur Lapindo, Sidoarjo, mengajukan permohonan hak uji materiil (HUM) terhadap Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) ke Mahkamah Agung (MA), Selasa (25/9). Permohonan itu didaftarkan kuasa hukum mereka dari Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Panas Sidoarjo yang dimotori Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ke bagian registrasi perkara Tata Usaha Negara (TUN) MA.

 

Astuti Listyaningrum dari YLBHI mengatakan Perpres BPLS ini cenderung lebih memihak kepada PT Lapindo Brantas Inc (Lapindo) dan berbenturan dengan banyak peraturan di atasnya. Dalam permohonan itu, Perpres BPLS dinilai bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah.

 

Misalnya Pasal 6 dan Pasal 11 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 21 ayat (1) dan  (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria juncto Pasal 1  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah. Selain itu mereka juga menilai Perpres BPLS berbenturan dengan Pasal 17, 67 dan 69 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Perpres itu juga didalilkan melanggar sejumlah ketentuan dalam KUHPerdata.

 

Pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres BPLS  dinilai paling bermasalah. Menurut Astuti, penyelesaian masalah sosial masyarakat yang  dengan pembelian tanah dan bangunan milik korban oleh Lapindo merupakan pelanggaran HAM. Pola penyelesaian juga dinilai Astuti, Sangat condong pada kepentingan PT Lapindo.

Tags: