Minimalisir Kriminalisasi Melalui Reidentifikasi Masyarakat Hukum Adat
Berita

Minimalisir Kriminalisasi Melalui Reidentifikasi Masyarakat Hukum Adat

Kriminalisasi masyarakat hukum adat dalam kasus kehutanan terus terjadi. Penyebabnya identifikasi yang sangat ketat dalam undang-undang dalam mengesahkan masyarakat hukum adat. Perlu identifikasi ulang?

Ali
Bacaan 2 Menit
Minimalisir Kriminalisasi Melalui Reidentifikasi Masyarakat Hukum Adat
Hukumonline

 

Penjelasan pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan menyebutkan masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur (i) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; (ii) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat; (iii) ada wilayah hukum adat yang jelas; dan (iv) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; (v) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

 

Namun, menurut Sandra Moniaga, unsur-unsur tersebut justru menghambat pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat serta menyuburkan kriminalisasi. Ia menjelaskan ada beberapa komunitas adat yang sebenarnya eksis, namun tak bisa diakui sebagai masyarakat hukum adat, karena tak memenuhi unsur. Bagaimana dengan masyarakat adat yang tak memiliki hukum? tanyanya.

 

Hukum bila ditafsirkan sederhana adalah aturan yang memiliki sanksi. Padahal di sebagian masyarakat itu ada juga memang adat yang tak pakai sanksi. Dalam arti sanksi materil, ungkapnya.

 

Sandra juga mengkritik penggunaan unsur-unsur tersebut saat ini sudah tak relevan. Tiga unsur (yang dikemukakan Budi,-red) itu kan teori Ter Haar pada tahun 1920. Mungkin memang dengan penelitian yang mendalam. Tapi konteksnya sekarang kan beda, jelasnya.

 

Meski mengaku belum memiliki identifikasi yang tepat, Sandra mencoba memberikan definisi. Masyarakat yang hidup dalam wilayah tertentu dengan sistem sosial, politik dan ekonomi yang berbeda, ujarnya. Definisinya memang agak umum. Tapi intinya, mereka punya sistem yang membedakan dari masyarakat mayoritas.

 

Ditetapkan melalui perda

Sementara itu, Budi menjelaskan kewenangan untuk menetapkan suatu komunitas sebagai masyarakat hukum adat adalah domain pemerintah daerah (Pemda). Bukan domain Departemen Kehutanan, ujarnya.

 

Prosesnya, dengan menetapkan masyarakat hukum adat melalui perda. Kemudian Depdagri menembuskannya ke Dephut. Di situ kan ada wilayahnya. Dan wilayah itulah yang ditentukan menteri kehutanan, jelasnya.

 

Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah

 

Penjelasan

Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait

 

Terhadap poin ini Sandra sependapat. Makna kedaulatan masyarakat adat lebih bersifat politis, ujarnya. Cakupannya seperti apa? Negotiable (di DPRD,-red), tuturnya.

 

Namun, belum adanya masyarakat hukum adat yang diakuimenjadi persoalan tersendiri. Saat ini, baru satu komunitas di Lombok Barat yang diakui sebagai masyarakat hukum adat. Namun baru berdasarkan SK Bupati. Nanti akan ditingkatkan (menjadi Perda,-red), ungkapnya.

 

Sedangkan, peneliti LIPI Herry Yogaswara melihat adanya ketakutan di balik miskinnya pengakuan bagi masyarakat hukum adat. Mereka takut terjadi disintegrasi, ujarnya.

 

Isu-isu kriminaliasi masyarakat hukum adat dalam kasus kehutanan sepertinya tak ada habis-habisnya. Hal ini terekam dalam diskusi serta bedah buku yang diadakan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa) di Jakarta, Kamis (4/10) kemarin. Itu terjadi karena lembaga yudikatif lebih berpihak pada aturan daripada keadilan, ujar peneliti HuMa Sandra Moniaga.

 

Modus kriminalisasi itu terlihat dengan menetapkan suatu lahan milik masyarakat hukum adat sebagai kawasan hutan nasional. Akibatnya, apabila anggota masyarakat hukum adat memanfaatkan lahan leluhur, maka ia dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Masyarakat hukum adat di Desa Kontu Kabupaten Muna dan Desa Cisiih Kabupaten Lebak contohnya. Mengapa pemerintah tidak senang bila kami bisa punya lahan dan berladang di dalam kawasan nasional? Mengapa mereka melarang kami berladang di atas lahan yang sudah turun temurun kami olah, begitu jeritan petani dalam buku Konstruksi Hutan Adat.

 

Persoalannya, definisi serta identifikasi masyarakat hukum adat saja masih belum ada kesepahaman. Menurut staf Biro Hukum PHKA Departemen Kehutanan Budi Riyanto, tak semua orang yang menempati suatu daerah dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat. Ia memang mengakui UU Kehutanan juga mengatur keistimewaan hak dan kewajiban masyarakat hukum adat. Tetapi pastikan dulu, ada habitatnya atau tidak? tuturnya.

 

Budi menjelaskan untuk mengidentifikasikan masyarakat hukum adat dapat menggunakan tiga unsur. Ada masyarakat, wilayah, serta hukum dalam arti kelembagaan, jelasnya mengutip teori ahli hukum Belanda Ter Haar.

 

UU Kehutanan malah menetapkan lima unsur dalam menentukan masyarakat hukum adat yang sifatnya mutlak untuk sebuah pengakuan. Kalau tak ada unsur-unsurnya, kami meragukan apakah masyarakat tersebut bisa disebut masyarakat hukum adat, jelas Budi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: