Menggugat Klausula Baku Perda Perparkiran ke Mahkamah Agung
Utama

Menggugat Klausula Baku Perda Perparkiran ke Mahkamah Agung

Perda Perparkiran DKI Jakarta dinilai bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen karena mencantumkan klausula baku tentang pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Di sisi lain, judicial review ini dikhawatirkan terbentur dengan tenggang waktu seperti diatur dalam Perma No. 1/2004.

IHW
Bacaan 2 Menit
Menggugat Klausula Baku Perda Perparkiran ke Mahkamah Agung
Hukumonline

 

Klausula baku yang dimaksud Pasang tidak lain adalah untaian kalimat 'sakti' yang terdapat di dalam tiket  maupun di sekitar lingkungan tempat parkir. Bunyinya kurang lebih adalah 'Pengelola tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi'.

 

Jika dirunut, pihak pengelola parkir memang bukannya tanpa dasar mencantumkan klausula baku itu. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran (Perda Parkir) dijadikan sebagai landasan hukum penerapan klausula baku.

 

Pasal 36 Ayat (2) Perda Parkir

 

Atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di dalam petak parkir merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir

 

Bagi Pasang, keberadaan Perda Parkir ini seakan memasung hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan yang memadai dari para pelaku usaha. Secara legal formalistik, Perda Parkir ini dianggap telah menabrak ketentuan Undang-undang No 5 Tahun 1996 tentang Perlindungan Konsumen (UU Konsumen).

 

Pasang menjelaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf a UU Konsumen dijelaskan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

 

Jadi, kami menganggap bahwa bunyi Pasal 36 Ayat (2) Perda Parkir itu adalah bentuk klausula baku yang bermakna sebagai pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen parkir. Hal ini sangat bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi yaitu Pasal 18 Ayat (1) huruf a UU Konsumen, ujar Pasang yang juga berprofesi sebagai advokat ini.

 

Karena dianggap melanggar UU, maka Pasang mengajukan judicial review alias uji materil terhadap Perda Parkir ini. Saya sudah daftarkan permohonan judicial review Perda ini ke Mahkamah Agung pada Agustus 2007 lalu, jelasnya. Dalam permohonannya, Pasang menuntut agar Pasal 36 Ayat (2) Perda Parkir dinyatakan tidak sah dan atau tidak mempunyai kekuatan hukum. Selain itu, Pasang juga menuntut agar Pemprop dan DPRD DKI Jakarta mencabut Perda Parkir dan atau setidaknya menyesuaikan dengan UU Konsumen.

 

Dihubungi terpisah, Jornal Effendi Siahan, Kepala Biro Hukum Pemprop DKI Jakarta mengaku belum mengetahui tentang uji materil yang diajukan Pasang Haro. Sampai sekarang saya belum mendapatkan berkas apapun tentang judicial review itu. Biasanya, tiap ada perkara hukum terkait dengan Pemda, akan sampai kesini (Biro Hukum, red), jawab Jornal melalui gagang telepon (12/2).

 

Namun begitu, Journal membantah bahwa Perda Parkir dibuat sedemikian rupa untuk merugikan kepentingan konsumen. Ia malah membeberkan bahwa Pemprop DKI Jakarta saat ini sedang menggodok peraturan parkir yang lebih pro-konsumen. Sedang dikaji untuk menyusun sistem perparkiran dengan asuransi, dimana natinya pihak asuransi ini yang akan menanggung jika terjadi kerusakan atau kehilangan, jelasnya.

 

Lebih jauh Jornal menuturkan bahwa untuk membuat kajian itu, Pemprop juga sudah melakukan perbandingan dengan beberapa kota di negara lain semisal Singapura. Di satu sisi sistem itu memang bagus. Tapi di sisi lain akan menambah beban konsumen juga nantinya karena bertambahnya biaya asuransi, Jornal mengungkapkan.

 

Terbentur tenggang waktu?

Juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko kepada hukumonline tidak mau memberikan keterangan lebih jauh mengenai perkara ini. Saya tidak boleh berkomentar mengenai perkara yang masih berjalan ini, terangnya. Hanya saja Djoko menjelaskan bahwa prosedur pemeriksaan judicial review di MA diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil (Perma HUM).

 

Secara formal, syarat pengajuan permohonan uji materil diatur dalam Bab II Perma HUM. Salah satu hal yang diatur dalam bab itu adalah batas waktu pengajuan uji materil. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (4) Perma HUM, judicial review diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditetapkan.

 

Ketentuan Pasal ini bisa menjadi batu sandungan bagi Pasang. Pasalnya Perda Parkir ditetapkan per 24 September 1999. Artinya, Pasang mengajukan uji materil setelah Perda itu diberlakukan selama lebih kurang 8 tahun. Namun seperti dijelaskan Pasang, keberadaan Pasal 2 Ayat (4) tidak menyurutkan langkahnya.

 

MA sebagai satu institusi hukum tertinggi seharusnya lebih menegakkan keadilan dari pada kepastian hukum yang hanya bersumber pada hukum formal. Sehingga MA seharusnya tidak akan membiarkan suatu peraturan perundang-undangan yang jelas-jelas merugikan keadilan hukum bertentangan dan menyimpang dari perundang-undangan yang lebih tinggi, tandas Pasang.

 

Khusus mengenai masalah tenggang waktu, Pasang memang tidak boleh berkecil hati. Berdasarkan catatan hukumonline, MA ternyata pernah menerima permohonan judicial review yang diajukan melewati masa tenggang 180 hari dalam perkara Pilkada Banten akhir tahun 2006 silam. Saat itu, Paulus Efendi Lotulung, Ketua Majelis Hakim yang memutus perkara ini berpendapat bahwa adanya pembatasan waktu dikhawatirkan hanya akan menimbulkan tidak dapat diujinya suatu peraturan yang pada hakekatnya bertentangan dengan ketertiban dan kepentingan umum. Bahkan Paulus saat itu juga mengutip pendapat Bagir Manan yang menyatakan bertentangannya suatu peraturan dengan yang peraturan lain yang lebih tinggi baru terasa ketika lewat waktu, bukan saat diterbitkan.

 

Awal tahun ini Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pernah merilis fakta dimana hak-hak masyarakat sebagai konsumen masih kerap diinjak-injak oleh pelaku usaha dan pemerintah. Meski berada dalam posisi yang lemah, konsumen terus menggeliat untuk memperjuangkan haknya, bahkan sampai ke meja hijau.

 

Pengadilan sebagai salah satu saluran masyarakat untuk mencari keadilan, secara perlahan mulai menunjukkan keberpihakannya kepada konsumen. Masih segar di ingatan kita bagaimana David M.L Tobing, seorang konsumen penerbangan, berhasil 'mengalahkan' Lion Air beberapa waktu lalu. Lebih spektakuler lagi ketika Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menghukum Singapore Airlines untuk membayar ganti sugi semilyar rupiah kepada Sigit Septiyono. 

 

Kini, kesadaran masyarakat selaku konsumen ternyata tidak hanya berkutat pada gugatan ganti rugi yang ditujukan kepada pelaku usaha di pengadilan. Upaya lain yang bisa ditempuh konsumen adalah menuntut dibatalkannya peraturan yang dianggap melanggar hak konsumen. Upaya yang terakhir ini yang ditempuh Pasang Haro, seorang konsumen parkir di DKI Jakarta.

 

Kepada hukumonline, Pasang menjelaskan bahwa dirinya pernah mengalami kejadian buruk saat menggunakan jasa perparkiran di sebuah pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta Pusat. Saat itu, saya dan saudara saya memarkir mobil. Alangkah terkejutnya ketika saya mendapati mobil dalam keadaan tergores. Saya kemudian meminta penjelasan ke pihak pengelola parkir dan manajemen gedung. Tapi apa daya, dengan berlindung di balik klausula baku, mereka tidak mau bertanggung jawab, tutur Pasang melalui sambungan telepon pada Jumat (8/2).

Halaman Selanjutnya:
Tags: