Menelisik Celah Judicial Review UU Pilpres
Berita

Menelisik Celah Judicial Review UU Pilpres

Sebagian kalangan menilai pengujian terhadap UU Pilpres demi menggolkan capres independen mustahil karena terbentur Pasal 6a ayat (2) UUD 1945. Ahli HTN justru memandang Pasal 6a ayat (2) adalah norma yang bersifat terbuka, artinya tetap ada celah untuk judicial review.

M-3
Bacaan 2 Menit
Menelisik Celah Judicial Review UU Pilpres
Hukumonline

 

Tobas menjelaskan penafsiran secara gramatikal tidak menjadikan pasal 6a ayat (2) UUD 1945 sebagai penghalang sebab tidak terdapat kata-kata harus atau hanya dapat diusulkan oleh partai atau gabungan partai, dalam uraian pasal tersebut. Secara sistematis, menurut Tobas, pasal tersebut juga tidak dapat dilihat secara terpisah dari pasal-pasal lainnya.

 

Lebih lanjut Tobas berpendapat Pasal 6a ayat (2) UUD 1945 seharusnya ditafsirkan terkait dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Apalagi, Pasal 6a ayat (1) UUD 1945 juga menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Ditambah dengan Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945, maka UUD 1945  sudah seharusnya menjamin hak dan keinginan rakyat sebagai warga negara, paparnya.

 

Hak dan keinginan rakyat tersebut, secara teleologis, harus menjadi dasar suatu norma. Menurut survey LSI, keinginan rakyat akan adanya calon independen mencapai angka 68%, ujar Tobas. Oleh karena itu, Pasal 6a ayat (1) UUD 1945 seharusnya tidak menjadi penghalang kemungkinan dilakukannya uji materiil karena pasal tersebut merupakan bagian dari konstitusi dasar yang diadakan untuk menjamin keinginan rakyat, dan calon independen merupakan keinginan rakyat yang harus diakomodir.

 

Norma terbuka

Penafsiran yang dilakukan Tobas tersebut sejalan dengan penafsiran Atmadja, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana. Menurut Atmadja, Pasal 6a ayat (2) UUD 1945 merupakan norma yang terbuka secara materiil. Norma terbuka ini maksudnya masih terbuka atau masih ada celah, jelasnya.

 

Salah satu contoh penerapan norma terbuka ini adalah masuknya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke dalam rezim Pemilihan Umum (Pemilu). Ruang lingkup rezim Pemilu berdasarkan pasal 22e UUD 1945, adalah Pemilihan Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, dalam prakteknya, Pilkada kemudian termasuk dalam rezim Pemilu berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Atmadja menambahkan adanya kemungkinan pendapat lain yang mengkategorikan Pasal 6a ayat (2) UUD 1945 sebagai norma tertutup. Namun pada akhirnya, MK yang akan menentukan apakah pasal tersebut merupakan norma tertutup atau norma terbuka, ujar Atmadja.

 

MK memang yang nantinya akan menentukan apakah akan menerima atau menolak uji materiil ini, ujar pengamat Hukum Tata Negara A. Irman Putrasidin. Namun demikian, mantan Koordinator Staf Ahli MK ini tetap berpendapat uji materiil ini sangat mungkin dilakukan. Pasal 6a ayat (2) UUD 1945 hanyalah penegasan pilar pertama demokrasi yang berada di partai politik. Namun, bukan satu-satunya karena masih ada pilar-pilar lainnya, ujar Irman.

 

Selain itu, uji materiil ini sangat layak dilakukan mengingat adanya calon independen dalam Pilkada yang telah dilakukan. Ketika calon independen dimungkinkan dalam Pilkada, dan tidak dimungkinkan dalam Pemilihan Presiden, bagaimana menjelaskannya kepada rakyat? ujar Irman. Tobas juga berpendapat adanya calon independen dalam Pilkada menjadi semacam norma baru yang dapat menjadi bahan penafsiran untuk pemilihan Presiden.

 

Sementara, anggota Komisi II DPR Andi Yuliani Paris menganggap uji materiil terhadap UU Pilpres tersebut tidak mungkin dilakukan. Terlalu mengada-ada. Itu kan bertentangan dengan UUD, ujarnya singkat. RUU Pilpres sendiri, menurut Andi, sudah di penghujung proses pembahasan di DPR. Dalam kurun waktu dua hingga tiga minggu lagi, DPR rencananya akan mensahkan RUU Pilpres tersebut.

 

Sikap resistensi kalangan DPR sudah diduga oleh Tobas. Ia menilai wajar jika DPR yang berisi orang-orang partai mati-matian mempertahankan pasal yang menutup peluang capres independen. Namun begitu, Tobas mengharapkan hasil uji materiil ini dapat menjadi masukan bagi DPR dalam merumuskan RUU Pilpres. Kami hanya ingin memberikan nuansa masukan untuk DPR, pungkasnya.

 

Hakim konstitusi Jimly Asshiddiqie memiliki pemahaman berbeda tentang norma terbuka. Dalam situsnya, Jimly menjelaskan sifat terbuka atau tertutup suatu norma tidak ada kaitannya dengan boleh tidaknya diuji ke MK. Terbuka dan tertutup itu cuma teknis perumusan, tandasnya. Jimly memberi contoh, misalnya kewenangan MK di UUD 1945 disebut rinci satu per satu sehingga disebut sebagai norma tertutup. Sementara, kewenangan MA disebut sebagai norma terbuka karena diakhiri dengan kata-kata "…dan kewenangan lain yang ditetapkan dalam undang-undang".

Atmosfer menjelang Pemilihan Umum 2009 semakin hangat. Lagi-lagi, sebuah rancangan undang-undang paket politik terancam diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi begitu disahkan nanti. RUU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) yang kini dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, dipersoalkan karena masih mentabukan calon presiden perseorangan atau independen. Jika jadi disahkan apa adanya, maka UU Pilres baru akan meneruskan nafas yang sama yang terkandung dalam UU No. 23 Tahun 2003.

 

Dihubungi via telepon (19/8), Taufik Basari selaku kuasa hukum pemohon menjelaskan bahwa  uji materiil akan diajukan oleh dua kelompok pemohon. Kelompok pertama adalah warga negara yang ingin maju menjadi calon independen. Kelompok kedua adalah warga negara yang memiliki hak pilih untuk memilih presiden di luar jalur partai politik, ujar Ketua Badan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat yang akrab disapa Tobas.

 

Tobas menganggap UU Pilpres menutup kemungkinan adanya capres di luar jalur partai. Pasal 1 ayat (6) jis. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (4) UU Pilpres menentukan calon presiden dan wakil presiden merupakan calon yang diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR. Hal ini menghalangi hak konstitusional dasar para pemilih, tudingnya.

 

Hak konstitusional dasar para pemilih yang dimaksud Tobas ini terkait dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28d ayat (1) dan (3), serta Pasal 28i ayat (2). Apabila dirangkum, menurut Tobas, pasal-pasal ini menjamin persamaan kedudukan serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi, tegasnya. 

 

Sementara, lanjut Tobas, pasal-pasal dalam UU Pilpres yang disebutkan tadi justru menunjukan adanya diskriminasi dan terkesan memberikan hak ekslusif kepada partai. Ia memang menyadari ekslusivitas ini merupakan kelanjutan dari Pasal 6a ayat (2) UUD 1945. Tobas menganggap pasal tersebut bukan penghalang dilakukannya uji materiil terhadap UU Pilpres. Secara holistik, saya tidak menganggap pasal ini sebagai pasal penghalang, ujarnya. Penafsiran holistik dimaksud meliputi penafsiran secara gramatikal, sistematis, dan juga secara teleologis.

Tags: