Jaksa Agung: VLCC Belum Titik Habis
Berita

Jaksa Agung: VLCC Belum Titik Habis

ICW menilai Kejagung terlalu dini menyimpulkan tidak ada kerugian negara, karena BPK belum menemukan harga pembanding dari penjualan Tanker VLCC.

CR-1
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung: VLCC Belum Titik Habis
Hukumonline

 

Putusan PK dan hasil pemeriksaan BPK bertolakbelakang dengan Putusan KPPU yang menyebut adanya potensi kerugian negara akibat penjualan Tanker VLCC berkisar AS$20 juta hingga AS$56 juta atau Rp180 milyar hingga Rp504 milyar.

 

Kronologi Kasus Tanker VLCC

 

November 2002

Pertamina memesan dua unit Tanker VLCC dari Hyundai Heavy Industries di Ulsan Korea Selatan dengan harga per unitnya AS$65,4 juta.

 

27 Maret 2003

kontrak pengadaan dua kapal tanker berbobot mati 260 ribu ton ditandatangani oleh Dirut Pertamina Baihaki Hakim dan Direktur Hyundai Heavy Industries.

 

14 Oktober 2003

Direktur baru Pertamina Ariffi Nawawi membatalkan rencana direksi lama menerbitkan obligasi untuk membayar pembangunan tanker di Korsel.

 

April 2004

Muncul kebijakan baru dari Pertamina yang menghendaki agar VLCC yang sedang dipesan tersebut dijual melalui proses lelang dengan alasan cash flow pertamina dalam keadaan berantakan, padahal keduanya belum selesai dibangun dan baru akan selesai pada bulan Juli 2004.

 

10-11 Mei 2004

Pertamina dan Golman Sachs mengundang 42 penawar potensial sebagai proses lelang terbatas.

 

14 Juni 2004 : Frontline Ltd mengumumkan pihaknya tengah bernegoisasi untuk meneken sales and puchase agreement dengan harga AS$ 184 juta.

 

2 Juni 2004

Dokumen dari Tim Divestasi VLCC Pertamina menunjukan harga tertinggi dari tiga penawar bukanlah Fronline Ltd, melainkan Essar Shipping Ltd.

 

4 maret 2005

KPPU menetapkan Goldman Sach (Singapura), Fronline Ltd (Kepulauan Bermuda), serta PT Equinox bersekongkol dengan Pertamina dalam penjualan kapal tanker VLCC, sehingga merugikan negara senilai AS$ 54 juta.

 

7 maret 2005

Direktur keuangan Pertamina, Alfred A. Rohimone resmi dinonaktifkan.

 

18 Maret-4 April 2005

Pertamina, Goldman Sach Pte dan Equinox resmi mendaftarkan keberatan di PN Jakarta Pusat,  atas keputusan KPPU.

 

25 Mei 2005

PN Jakarta Pusat menyatakan keputusan KPPU mengenai penjualan kapal tanker VLCC dibatalkan.

 

17 Juni 2005

KPPU mengajukan Memori Kasasi ke MA.

 

29 November 2005

MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan KPPU dan membatalkan putusan PN Jakarta Pusat No. 04/KPPU/2005/PN.JKT.PST.

 

2 Maret 2006

KPPU menerima salinan putusan MA.

 

6 Juni 2007

Kejaksaan Agung menetapkan Laksamana Sukardi sebagai tersangka dalam kasus VLCC.

 

20 November 2008

Kejaksaan Agung, BPK dan BPKP menyelenggarakan gelar perkara dan berkesimpulan tidak adanya kerugian negara dalam penjualan dua kapal tanker VLCC.

 

12 Mei 2008

MA mengeluarkan putusan PK dengan  mengabulkan permohonan keberatan Pertamina, Goldman Sach Pte dan Equinox dengan membatalkan putusan KPPU.

 

25 Januari 2009 : Jaksa Agung, Hendarman Supandji menandatangani SP3 Kasus VLCC.

 

Sehari berselang setelah mengumumkan penandatanganan SP3, Hendarman Supandji melakukan klarifikasi bahwa SP3 bukan berarti kasus VLCC tamat. Jumat (30/1), Hendarman menegaskan kasus VLCC masih dimungkinkan dibuka kembali. Dengan syarat, ditemukan bukti baru yang bisa menganulir dalih diterbitkannya SP3. Mengacu pada penjelasan Hendarman sebelumnya, bukti yang dimaksud tentunya berkaitan dengan apakah ada unsur kerugian negara. Jika di kemudian hari ditemukan alat bukti baru, akan saya buka kembali VLCC, tegasnya.

 

Klarifikasi Jaksa Agung bisa jadi untuk menanggapi pendapat miring kalangan LSM. ICW misalnya langsung mengecam keputusan Kejagung menghentikan perkara VLCC. Peneliti ICW Febri Diansyah menangkap kesan Kejagung ragu-ragu mengusut tuntas kasus ini. Kejagung, sambung  Febri, sepertinya gentar menghadapi pelaku dalam kasus besar.

 

Tentang tidak adanya kerugian negara, Febri berpendapat Kejagung terlalu prematur mengambil kesimpulan. Pasalnya, BPK sejauh ini memang belum bisa mencari harga pembanding dua unit kapal tanker yang dijual oleh Pertamina. Menurutnya, Kejagung seharusnya mencari second opinion dari auditor lain. Seperti BPKP yang menganut prinsip potensial loss dengan UU No 31 Tahun 1999, berbeda dengan standar BPK, tambahnya.

Kamis (29/1), Jaksa Agung Hendarman Supandji mengeluarkan pernyataan yang mengisyaratkan kasus dugaan korupsi penjualan kapal Tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) telah tutup buku. Hendarman mengaku telah menandatangani usulan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) yang diajukan jajaran Jampidsus. Saya sudah teken dan sudah saya setujui, ungkapnya.

 

Jampidsus Marwan Effendi membenarkan bahwa SP3 sudah ditandatangani Jaksa Agung. Saya sudah teruskan ke Dirdik (Direktur Penyidikan), tukasnya. Marwan berharap Dirdik segera menandatangani SP3 VLCC.

 

Memang, sebelumya tanda-tanda penghentian perkara VLCC kian menguat. Terutama, ketika Tim penyidik Kejaksaan Agung telah menggelar perkara pada November lalu dengan mengundang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam ekspose tersebut tidak ditemukan adanya kerugian negara dalam proses penjualan VLCC.

 

Jaksa Agung menjelaskan, sebenarnya ada unsur perbuatan melawan hukum dalam kasus ini. Namun, tim penyidik berkesimpulan tidak ada kerugian negara. Hendarman menilai, apa yang terjadi pada kasus VLCC, yaitu penjualan dua  kapal tanker VLCC, hanya pelanggaran administrasi dan bukan pidana. Itukan sanksi administrasi bukan kejahatan, tegasnya.

 

Terlebih lagi, Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung telah menganulir putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan terjadi pelanggaran terhadap UU Anti Monopoli. Putusan MA bahkan menyatakan, negara telah diuntungkan, tukas Hendarman. Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyatakan sulit membuktikan adanya kerugian negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags: