DPR Yakin UU Pornografi Tak Merusak Kebudayaan
Berita

DPR Yakin UU Pornografi Tak Merusak Kebudayaan

DPR mengakui penafsiran pornografi dalam Pasal 10 UU No. 44 Tahun 2008 bersifat subjektif. Disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.

Ali
Bacaan 2 Menit
DPR Yakin UU Pornografi Tak Merusak Kebudayaan
Hukumonline

Argumentasi para pemohon pengujian UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada umumnya serupa. UU itu dianggap dapat merusak kebudayaan Indonesia yang plural. Pemohon dari Minahasa, Sulawesi Utara bahkan khawatir pekerjaannya akan hilang pasca pemberlakuan UU itu. Mereka adalah para pemahat yang memproduksi dan memperjualbelikan lukisan, ukiran, patung dan kerajinan lain yang kerap mengandung muatan pornografi seperti lukisan atau patung telanjang.

 

Anggota Komisi III DPR RI Azlaini Agus meminta para pekerja seni itu tak perlu khawatir. Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi memang melarang setiap orang untuk memproduksi atau memperjualbelikan produk yang mengandung muatan pornografi. Namun, lanjut Azlaini, UU Pornografi memberi pengecualian terhadap ketentuan tersebut. Ia menunjuk ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU Pornografi.

 

Pasal tersebut berbunyi 'Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus'. Azlaini mengatakan bila profesi pemohon sebagai pembuat patung maka pemohon masih bisa menjual karyanya meski terindikasi memiliki muatan pornografi. Pemohon bisa menjual ke Art Shop atau Gallery. Jadi tak benar bila UU Pornografi itu melanggar hak kebudayaan, tegasnya di ruang sidang MK, Rabu (6/5).  

 

Azlaini juga mengaku tak sependapat bila UU Pornografi dapat merusak budaya di masing-masing daerah yang beraneka ragam. Ia mengambil contoh ketentuan Pasal 10 UU Pornografi yang sedang diuji. Pasal itu menyebutkan 'Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya'.

 

Politisi Partai Amanat Nasional ini mengakui kalau pasal ini memang ditafsirkan secara subjektif. Namun, ia menolak bila penafsiran subjektif itu dikaitkan kepada ketidakpastian hukum. Penafsiran subjektif justru menghormati budaya-budaya daerah yang beragam, sebutnya. Penafsiran itu dikaitkan dengan nilai-nilai yang hidup dalam adat istiadat masyarakat setempat.

 

Contohnya, bila seorang pria asal Papua yang kerap menggunakan koteka di daerahnya. Menurut Azlaini, pria tersebut tak bisa dikenakan pasal pornografi. Pria itu baru bisa terkena pasal pornografi bila menggunakan koteka di daerah lain yang berbeda nilai adat istiadatnya dari Papua. Kalau dipertunjukan di daerah lain, baru dia bisa dikenakan pasal ini, ujarnya. 

 

Pemerintah dalam opening statementnya juga setali tiga uang dengan DPR. Pemerintah menegaskan UU Pornografi tidak membatasi, mengurangi atau setidak-tidaknya menghalang-halangi perkembangan budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia.

 

UU Pornografi, menurut pemerintah, justru secara tegas bertujuan untuk menghormati, melindungi dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Selain itu tidak ada satu pasal pun dalam bab tentang larangan dan pembatasan dalam UU Pornografi yang membatasi perkembangan budaya.

 

Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Airlangga Soetandyo Wignyosoebroto justru mengkritik DPR dan Pemerintah dalam membuat UU Pornografi. Menurutnya, sebuah UU harus digali dari hukum yang hidup di dalam masyarakat, sehingga Undang-Undang itu bisa digunakan untuk menjawab persoalan yang ada di masyarakat. Ia menilai UU Pornografi tak memenuhi kriteria itu. Undang-Undang ini bisa mengundang datangnya konflik, ujar ahli dari pemohon ini.   

 

Sekedar mengingatkan, permohonan pengujian UU Pornografi ini diajukan oleh tiga kelompok pemohon yang berbeda. Mereka adalah kelompok masyarakat asal Minahasa, Koalisi Bhinneka Tunggal Ika, serta Tim Advokasi Perempuan untuk Keadilan. Pasal yang diuji di antaranya Pasal 1 angka 1 seputar definisi pornografi, Pasal 4 ayat (1), Pasal 10, serta Pasal 20 dan Pasal 21 yang mengatur keterlibatan masyarakat dalam menangani masalah pornografi.
 
Tags: