Piercing the Corporate Veil dalam Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) menganut asas separate legal personality sebagaimana tercermin pada Pasal 3 ayat (1) UUPT yang berbunyi:
Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki
Pengecualian asas separate legal personality pada pasal di atas disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT yang sering dikenal dengan piercing the corporate veil.
Pasal 3 ayat (2) UUPT menjelaskan bahwa:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
- persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
- pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
- pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
- pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Artinya, kondisi yang memenuhi unsur piercing the corporate veil adalah kondisi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT.
Penerapan Piercing the Corporate Veil kepada Holding Company
Definisi dari holding company menurut Bryan A. Garner, et.al (Eds.) dalam Black’s Law Dictionary Ninth Edition adalah (hal. 319):
A company formed to control other companies, usually confining its role to owning stock and supervising management.
Definisi holding company tidak disebut secara tegas dalam UUPT, namun jika mengacu pada pengertian di atas, maka holding company mempunyai pengertian sebagaimana diuraikan dalam Pasal 84 ayat (2) huruf b dan c UUPT, yakni:
Hak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
- saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan;
- saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung; atau
- saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.
Dalam hal pertanggungjawaban holding company atas pailitnya anak perusahaan, maka holding company sebagai pemegang saham akan dikenakan tanggung jawab tidak terbatas (berlaku piercing the corporate veil) jika terdapat penyatuan keuntungan pemegang saham dan tidak ada pemisahan kekayaan antar entitas.
Contoh Putusan
Yurisprudensi Mahkamah Agung (“MA”) terkait piercing the corporate veil dapat disimak pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 89 PK/PDT/2010 (“Putusan MA 89 PK/PDT/2010”).
Dalam putusan tersebut, MA menolak permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Para Tergugat) (hal. 98).
Tergugat I adalah perusahaan induk dari Tergugat II yang memiliki hubungan hukum dengan Penggugat (Termohon Peninjauan Kembali) sebagai distributor Tergugat II (hal. 2 – 3).
Dengan putusan tersebut, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 923/Pdt.G/2005/PN.Jak.Sel yang telah diperkuat dalam tahap banding maupun kasasi tetap berlaku dan berkekuatan hukum tetap (hal. 17).
Berdasarkan Putusan MA 89 PK/PDT/2010, menurut hemat kami, holding company wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh anak perusahaan sepanjang memenuhi unsur:
- adanya keterkaitan induk dan anak perusahaan yang memungkinkan induk perusahaan menjalankan pengendalian terhadap anak perusahaan guna mendukung kepentingan perusahaan holding company sebagai satu kesatuan ekonomi (hal. 2 – 3);
- adanya kerugian yang ditanggung pihak ketiga (hal. 5 & 15);
- adanya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi (hal. 5 & 15).
Kasus kepailitan anak perusahaan pada perseroan terbatas akan mengacu pada doktrin separate legal personality, yakni adanya pertanggungjawaban terpisah dan terbatas sebagaimana tercermin dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT.
Namun kondisi ini dibatasi oleh doktrin piercing the corporate veil yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT, artinya holding company tetap memiliki tanggung jawab secara renteng sebagai konsekuensi dari pailitnya anak perusahaan.
Holding company dapat menjadi debitur terkait pailitnya anak perusahaan dan turut secara tanggung renteng harus menanggung kewajiban anak perusahaan yang pailit pada para kreditur jika pada perutangan yang dibuat anak perusahaan terbukti adanya pengendalian holding company pada anak perusahaan yang pailit tersebut.
Dalam hal ini, adanya pengendalian oleh holding company saja tidak cukup untuk menimbulkan kewajiban tanggung renteng pada holding company atas pailitnya anak perusahan, karena harus merujuk pula pada Pasal 3 ayat (2) UUPT dan Putusan MA 89 PK/PDT/2010
Dengan berlakunya piercing the corporate veil dalam kasus pailitnya anak perusahaan, maka holding company akan menanggung konsekuensi atas pailitnya anak perusahaan, termasuk kemungkinan kewajiban penyelesaian pada para kreditur anak perusahaan yang pailit tersebut, kecuali diperjanjikan lain atau diatur lain oleh peraturan perundang-undangan.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
- Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 923/Pdt.G/2005/PN.Jak.Sel;
Referensi:
Bryan A. Garner, et. al. (Eds.). Black’s Law Dictionary Ninth Edition. St. Paul: West Publishing Co., 2009.