Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Penyediaan Jasa Usaha Pariwisata oleh Swasta di Pelabuhan

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Penyediaan Jasa Usaha Pariwisata oleh Swasta di Pelabuhan

Penyediaan Jasa Usaha Pariwisata oleh Swasta di Pelabuhan
Andika Putra Eskanugraha, S.H., M.Kn.Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH Universitas Jember
Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH Universitas Jember
Bacaan 10 Menit
Penyediaan Jasa Usaha Pariwisata oleh Swasta di Pelabuhan

PERTANYAAN

Keluarga saya memiliki sebidang lahan/tanah yang sekarang difungsikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang. Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah meminta kami untuk menjual tanah tersebut ke mereka untuk dialihfungsikan dalam bidang pariwisata, namun kami menolak permintaan tersebut. Kami mengusulkan dalam pengelolaan lahan dikerjakan secara kerja sama dengan perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama, namun pemerintah menginformasikan ke kami bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi dan hanya ada 2 pilihan, hibah atau jual. Pertanyaannya, apakah mungkin sistem kerja sama berlaku dalam hal ini? Jika iya, apakah kami harus memiliki badan hukum? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pelabuhan bongkar muat yang dimaksud dalam pertanyaan Anda berarti yang diselenggarakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah sebab yang berkoordinasi terkait pembelian tanah tersebut adalah pemerintah daerah dan pelabuhan tersebut juga belum diusahakan secara komersial.

    Pada dasarnya pemerintah daerah dapat melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan pelabuhan tersebut melalui pembelian tanah yang di atasnya terdapat hak subjek hukum lain.

    Kerja sama dengan pihak swasta (perorangan dan/atau badan) hanya dapat dilakukan dalam hal penyediaan dan/atau pelayanan jasa usaha pariwisata pelabuhan, sewa-menyewa lahan pelabuhan kepada pihak swasta dan penggunaan lahan pelabuhan oleh pihak swasta dengan skema bagi hasil.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Kerja Sama Pemerintah dengan Swasta dalam Pariwisata di Pelabuhan yang dipublikasikan pertama kali pada 13 April 2020.

    Penyelenggara Pelabuhan

    KLINIK TERKAIT

    Bedanya Jasa Ekspedisi, Angkutan Umum, dan Freight Forwarding

    Bedanya Jasa Ekspedisi, Angkutan Umum, dan <i>Freight Forwarding</i>

    Tanah yang difungsikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang dapat diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan yang merupakan penyelenggara pelabuhan berdasarkan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (“UU Pelayaran”).

    Otoritas Pelabuhan dibentuk pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial.[1] Sedangkan, Unit Penyelenggara Pelabuhan dibentuk pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.[2]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan berperan sebagai wakil pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian.[3]

    Otoritas Pelabuhan dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan,[4] sedangkan Unit Penyelenggara Pelabuhan dibentuk dan bertanggung jawab pada Menteri Perhubungan (untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah) atau gubernur atau bupati/walikota (untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah).[5]

    Dapat diidentifikasi bahwa pelabuhan bongkar muat yang dimaksud dalam pertanyaan Anda berarti yang diselenggarakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah sebab yang berkoordinasi terkait pembelian tanah tersebut adalah pemerintah daerah dan pelabuhan tersebut juga belum diusahakan secara komersial.

    Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

    Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) menegaskan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial.

    Maksud dari Pasal 6 UUPA ini tidak lain adalah setiap jengkal tanah di Indonesia yang terdapat hak di atasnya wajib memiliki fungsi sosial. Tidak hanya si pemegang hak atas tanah saja yang dapat memanfaatkannya, tetapi dapat dikecualikan atas hal-hal tertentu, seperti dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dapat diukur dengan hal kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“UU Pengadaan Tanah”).

    Pasal 123 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 10 UU Pengadaan Tanah menerangkan:

    Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:

    1. pertahanan dan keamanan nasional;
    2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api;
    3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya;
    4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
    5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
    6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan/atau distribusi tenaga listrik;
    7. jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
    8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
    9. rumah sakit Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
    10. fasilitas keselamatan umum;
    11. permakaman umum Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
    12. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
    13. cagar alam dan cagar budaya;
    14. kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa;
    15. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa termasuk untuk pembangunan rumah umum dan rumah khusus;
    16. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
    17. prasarana olahraga Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
    18. pasar umum dan lapangan parkir umum;
    19. kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
    20. kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
    21. kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
    22. kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
    23. kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; dan
    24. kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.

    Berdasarkan ketentuan di atas, untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan pelabuhan, maka pemerintah atau pemerintah daerah, dapat membeli dari setiap orang yang memiliki hak atas tanah yang akan dibangun pelabuhan tersebut.

    Wisata Pelabuhan

    Apabila pembelian tanah yang dimaksud dialihfungsikan untuk kepentingan bidang pariwisata, maka pertanyaan selanjutnya, apakah bidang pariwisata ini bagian dari pembangunan wisata pelabuhan?

    Jika masih bagian dari pembangunan pelabuhan, maka pemerintah daerah dapat membeli tanah tersebut berdasarkan UU Pengadaan Tanah.

    Hal ini dikuatkan dengan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (“PP Kepelabuhanan”) yang menyatakan bahwa:

    1. Penyediaan lahan di daratan dan di perairan dalam pelabuhan dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan.
    2. Lahan itu dikuasai oleh negara.
    3. Jika di atas lahan yang diperlukan untuk pelabuhan terdapat hak atas tanah, penyediaannya dilakukan dengan cara pengadaan tanah.
    4. Pengadaan tanah itu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Maka, salah satu kewenangan Otoritas Pelabuhan adalah penyediaan lahan yang dapat dilakukan dengan cara pengadaan tanah. Pengadaan tanah dalam Pasal 51 ayat (4) PP Kepelabuhanan itu, menurut hemat kami, diatur dalam UU Pengadaan Tanah.

    Pasal 85 UU Pelayaran kemudian berbunyi:

    Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) diberi hak pengelolaan atas tanah dan pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Ketentuan ini memberikan peluang pada Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan untuk mendapat hak atas tanah berupa hak pengelolaan yang dimaksud dan diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah (“Permen ATR/Kepala BPN 18/2021”). Hak pengelolaan itu dapat berasal dari tanah hak, tanah negara atau kawasan hutan negara.[6]

    Namun, karena Pasal 51 ayat (2) PP Kepelabuhanan telah membatasi tanah yang dimaksud sebagai tanah yang dikuasai negara, maka dalam hal ini hak pengelolaan tidak dapat datang dari perorangan, seperti Anda atau keluarga Anda.

    Sementara itu, bidang pariwisata masuk dalam fasilitas penunjang pelabuhan sesuai Pasal 23 ayat (3) PP Kepelabuhanan yang menyatakan bahwa fasilitas penunjang meliputi:

    1. perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
    2. perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal;
    3. perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar);
    4. perairan tempat kapal mati;
    5. perairan untuk keperluan darurat; dan
    6. perairan untuk kegiatan kepariwisataan dan perhotelan.

    Kegiatan kepariwisataan ini didukung pula dengan Pasal 70 PP Kepelabuhanan yang memungkinkan dilakukannya kerja sama dengan pihak perorangan. Pasal tersebut selengkapnya menyatakan:

    1. Penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b meliputi:
      1. penyediaan fasilitas penampungan limbah;
      2. penyediaan depo peti kemas;
      3. penyediaan pergudangan;
      4. jasa pembersihan dan pemeliharaan gedung kantor;
      5. instalasi air bersih dan listrik;
      6. pelayanan pengisian air tawar dan minyak;
      7. penyediaan perkantoran untuk kepentingan pengguna jasa pelabuhan;
      8. penyediaan fasilitas gudang pendingin;
      9. perawatan dan perbaikan kapal;
      10. pengemasan dan pelabelan;
      11. fumigasi dan pembersihan/perbaikan kontainer;
      12. angkutan umum dari dan ke pelabuhan;
      13. tempat tunggu kendaraan bermotor;
      14. kegiatan industri tertentu;
      15. kegiatan perdagangan;
      16. kegiatan penyediaan tempat bermain dan rekreasi;
      17. jasa periklanan; dan/atau
      18. perhotelan, restoran, pariwisata, pos dan telekomunikasi.
    1. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha.

    Dari pasal tersebut memang tidak dapat diartikan bahwa penyediaan/pelayanan pariwisata pelabuhan dapat dikerjasamakan dengan perorangan dalam hal lahan (tanah) yang menjadi objek wisata tersebut, namun penyediaan dan/atau pelayanan jasa usaha pariwisata ini dapat dikerjakan oleh pihak swasta, baik perorangan atau badan hukum, dengan dibuatkan suatu perjanjian.

    Bentuk kerja sama lain adalah kerja sama terkait sewa lahan sesuai Pasal 76 ayat (2) PP Kepelabuhanan. Namun, pasal ini dimaksudkan untuk pihak ketiga yang menyewa tanah pelabuhan, bukan pihak pelabuhan yang menyewa tanah untuk digunakan sebagai objek wisata pelabuhan.

    Kerja Sama Pengelolaan Wisata Pelabuhan

    Berdasarkan uraian di atas, pengadaan lahan untuk pembangunan pelabuhan dapat dilakukan melalui mekanisme UU Pengadaan Tanah.

    Namun, kerja sama antara penyelenggara pelabuhan dan/atau pemerintah atau pemerintah daerah dengan pihak swasta (perorangan atau badan) sebagai pemegang hak atas tanah pun dapat dilakukan melalui:

    1. penyediaan dan/atau pelayanan jasa usaha pariwisata pelabuhan oleh pihak swasta;
    2. penyewaan lahan oleh pihak pelabuhan kepada pihak swasta.

    Menurut hemat kami, bentuk kerja sama penggunaan lahan pariwisata dapat juga dengan cara bagi hasil.

    Kerja sama itu merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang saling menguntungkan dengan dasar perjanjian yang dibuat sesuai syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).

    Perjanjian kemudian memiliki kekuatan hukum mengikat, seperti undang-undang untuk para pihak yang membuatnya.[7]

    Jika dilaksanakan melalui hak pengelolaan lahan, maka konsep inipun tidak melanggar hukum sepanjang menguntungkan bagi pihak pemerintah daerah.

    Jika merugikan, maka terdapat kerugian keuangan negara atau daerah yang harus dipertanggungjawabkan.

    Selain itu, lahan tersebut dimungkinkan untuk digunakan oleh pemerintah daerah atau otoritas pelabuhan dengan konsep kerja sama atau sewa lahan, jika lahan tersebut tidak digunakan sebagai lahan inti usaha pariwisata, sebagai contoh lahan parkir tempat wisata pelabuhan yang dapat dikelola oleh pihak swasta dengan dilakukan kerja sama penggunaan lahan atau melalui sewa-menyewa.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
    4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
    5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
    6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    7. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan;
    8. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah.

    [1] Pasal 81 ayat (2) UU Pelayaran

    [2] Pasal 81 ayat (3) UU Pelayaran

    [3] Pasal 82 ayat (4) UU Pelayaran

    [4] Pasal 82 ayat (1) UU Pelayaran

    [5] Pasal 82 ayat (2) UU Pelayaran

    [6] Pasal 3 ayat (2) Permen ATR/Kepala BPN 18/2021

    [7] Pasal 1338 KUH Perdata

    Tags

    pertanahan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Jika Polisi Menolak Laporan Masyarakat, Lakukan Ini

    15 Jan 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!