Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Pada hakikatnya, secara yuridis normatif, penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur dalam UU 30/1999. Apabila dicermati dalam Penjelasan Umum UU 30/1999, dapat disimpulkan bahwa salah satu dasar terbentuknya UU 30/1999 yaitu UU 14/1970 yang menyatakan dalam salah satu ketentuannya yaitu penyelesaian melalui arbitrase tetap diperbolehkan, namun putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin untuk dieksekusi dari pengadilan.
Namun, UU 14/1970 tersebut kini telah dicabut dan berlakulah UU 48/2009. Pada Pasal 58 UU 48/2009 disebutkan sebagai berikut:
Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
klinik Terkait:
Kemudian, Pasal 38 ayat (2) UU 48/2009 menegaskan:
Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- penyelidikan dan penyidikan;
- penuntutan;
- pelaksanaan putusan;
- pemberian jasa hukum; dan
- penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Selanjutnya, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, berkaitan dengan pelaksanaan putusan arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.[1]
Berdasarkan penjelasan rangkaian norma hukum tersebut menunjukan bahwa lembaga arbitrase merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung.
Arbitrase Online di Indonesia
Seiring perkembangan zaman, e-court kemudian diperkenalkan oleh Mahkamah Agung. Kini pengaturan administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik diatur tersendiri ke dalam Perma 1/2019.
Sementara itu, jika mengacu kepada Pasal 4 ayat (3) UU 30/1999 yang menyebutkan:
Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.
berita Terkait:
Maka, dapatlah disimpulkan bahwa UU 30/1999 membuka peluang untuk menggunakan instrumen internet.[2] Hal serupa juga dikatakan oleh Wakil Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Huala Adolf, menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa arbitrase diperbolehkan menggunakan sarana elektronik, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU 30/1999 seperti yang dikutip dari Melihat Potensi Penyelesaian Sengketa Arbitrase Secara Elektronik di Indonesia (hal. 1).
Masih dari artikel yang sama, Huala Adolf menerangkan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sendiri telah melakukan persidangan elektronik sejak pandemi COVID-19. Meski ruang gerak terbatasi, sengketa tidak boleh diam dan harus tetap berjalan (hal. 2).
Pasal 14 ayat (4) Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI 2022 pun turut mengatur:
… Rapat-rapat internal dan sidang-sidang Majelis Arbitrase dapat diadakan pada setiap waktu dan tempat, termasuk melalui jaringan internet, apabila Majelis Arbitrase menganggap perlu.
Jadi, di Indonesia, memang dimungkinkan untuk dilangsungkan arbitrase online melalui jaringan internet.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Referensi:
- Arum Afriani Dewi. Arbitrase Online di Era Revolusi Industri 4.0 dan Pandemi COVID-19. Jurnal Legal Reasoning, Vol. 3, No. 2, 2021;
- Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI 2022, yang diakses pada 9 Mei 2022, pukul 16.00 WIB.
[1] Pasal 59 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[2] Arum Afriani Dewi. Arbitrase Online di Era Revolusi Industri 4.0 dan Pandemi COVID-19. Jurnal Legal Reasoning, Vol. 3, No. 2, 2021