Pasal 1365 KUH Perdata (BW) adalah dasar hukum paling umum untuk menuntut ganti rugi dari pihak lain jika terjadi wanprestasi. Pasal ini menyebutkan tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 1366 KUH Perdata bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Dalam dinamika peradilan di Indonesia, ada dua fase penting berkaitan dengan mata uang yang dipakai untuk membayar ganti kerugian. Fase pertama sebelum UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang; dan fase setelah UU No. 7 Tahun 2011. Pada fase pertama tidak ada pembatasan mata uang yang dipakai dalam ganti rugi, dalam arti disesuaikan dengan jenis mata uang yang diperjanjikan para pihak, bahkan bergantung yang diminta penggugat.
Sebaliknya pada fase kedua, sudah ada pembatasan yang tegas mengenai kewajiban penggunaan mata uang rupiah. Beberapa putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap memberikan penghargaan tinggi terhadap mata uang rupiah sesuai amanat UU No. 7 Tahun 2011. Jika penggugat dan majelis hakim judex facti menggunakan dan mengakui mata uang dolar Amerika Serikat sebagai pembayaran ganti rugi, Mahkamah Agung berkali-kali mengoreksi putusan demikian.