Beban besar dan tanggungjawab direksi dalam menjalankan fiduciary duty serta pertaruhan dalam pengambilan keputusan besar demi bisnis perusahaan membuat direksi sepatutnya tak khawatir dengan ancaman pidana atas dampak dari keputusan yang diambilnya. Terlebih tak bisa ditampik risiko bisnis akan selalu ada dan memang ada masanya di mana keputusan bisnis ‘berisiko’ mau tidak mau harus diambil. Dampak pandemi yang menghantam berbagai lini bisnispun nyatanya membuat perusahaan merugi hingga bahkan gulung tikar. Bila tak berani berinovasi dan mengambil keputusan penting, akan sulit bagi perusahaan untuk bertahan di masa-masa sulit ini.
Pada Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) bahkan ditegaskan bahwa anggota direksi bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian perseroan bilamana bersalah atau lalai menjalankan tugas pengurusan dengan iktikad baik. Bahkan, pertanggungjawaban atas kesalahan dan kelalaian tersebut dalam Pasal 155 UU PT disebut tak mengurangi pertanggungjawaban pidananya. Menyadari berbagai kondisi rentan yang bakal dihadapi direksi dalam menjalankan tugasnya itulah yang menjadi alasan pentingnya keberadaan sebuah doktrin pembelaan bagi direksi yang dikenal sebagai doktrin Business Judgment Rule (BJR).
Black Law Dictionary mendefinisikan BJR sebagai “the presumption that in making business decisions not involving direct self-interest or self dealing, corporate directors act on an informed basis, in good faith, and in the honest belief that their actions are in the corporation best interest”.
Adapun UU PT mengatur BJR dalam Pasal 97 ayat (5), di situ disebutkan bahwa direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perseroan bilamana dapat membuktikan kerugian bukan karena kesalahan/kelalaiannya, terpenuhinya unsur iktikad baik dan kehati-hatian, tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dan telah mengupayakan tindakan pencegahan atas kerugian tersebut.