Perkembangan Hukum Perjanjian Sewa Menyewa

Perkembangan Hukum Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa menyewa bersifat konsensuil. Apabila pemilik tidak berkenan memperpanjang masa sewa, ada risiko hukum pidana bagi yang menolak meninggalkan objek sewa.
Perkembangan Hukum Perjanjian Sewa Menyewa
Ilustrasi hukum perjanjian sewa menyewa. Sumber: Shutterstock

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian sewa-menyewa pun sering menimbulkan masalah hukum. Pangkal penyebab sengketa dapat beragam: biaya sewa, waktu sewa, pengakhiran sewa secara tiba-tiba, masih menempati objek sewaan meskipun sudah berakhir masa sewa, pengalihan sewa kepada pihak ketiga, atau sebab lain yang dapat berasal dari penyewa atau pihak yang menyewakan. Sengketa sewa menyewa adalah persoalan klasik, dalam arti sudah ada sejak lama, ditemukan pada masyarakat adat dan masyarakat modern.

Oleh karena perjanjian sewa menyewa adalah ruang privat, acapkali sengketa sewa menyewa berakhir melalui kesepakatan para pihak tanpa diketahui publik. Tetapi adakalanya suatu sengketa muncul ke ruang publik dan memantik diskusi hukum yang menarik. Kasus teranyar yang mendapat perhatian publik adalah sewa hanggar pesawat di bandara Malinau, Kalimantan Timur. Pemda menurunkan satuan polisi pamong praja (Satpol PP) untuk menarik pesawat milik PT ASI Susi Pudjiastuti Aviation keluar hanggar. Pihak Susi Air sampai menerbitkan somasi terhadap pemda Malinau. Pangkal persoalan kedua pihak tidak lepas dari masalah perjanjian sewa menyewa.

Contoh paling menarik melihat perkembangan atau dinamika hukumnya, termasuk pergeseran dari ruang privat ke ruang publik adalah perjanjian sewa menyewa rumah. Pada awal Agustus 1963, terbit Peraturan Pemerintah (PP) No. 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan. Regulasi ini dikeluarkan agar ada ‘ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan sewa menyewa yang mengandung pedoman penetapan harga sewa perumahan yang layak sesuai dengan keadaan’.

Pemda diberi kewenangan menetapkan harta sewa tertinggi. Kantor Urusan Perumahan (KUP) diberikan wewenang mengurus penghentian sewa menyewa perumahan. Putusan Mahkamah Agung No. 641 K/Sip/1971 tanggal 4 Maret 1972, misalnya, berkaitan dengan PP tersebut. Mahkamah Agung menyatakan ‘pengadilan berwenang untuk mengadili tuntutan mengenai pembayaran sewa rumah. PP No. 49 Tahun 1963 hanya mengatur mengenai pemutusan hubungan sewa menyewa.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional