Pengampunan Pajak, Ini Dia Syarat-Syaratnya
Berita

Pengampunan Pajak, Ini Dia Syarat-Syaratnya

Frekuensi pengampunan pajak menjadi perdebatan. Jangan sampai jadi moral hazard.

Oleh:
FNH/MYS
Bacaan 2 Menit
Pengampunan Pajak, Ini Dia Syarat-Syaratnya
Hukumonline

Hukum positif Indonesia saat ini lebih mengenal sunset policy ketimbang pengampunan pajak (tax amnesty). Sunset policy adalah kebijakan pemberian fasilitas penghapusan sanksi administratif perpajakan berupa bunga. Kebijakan ini diatur dalam Pasal 37 A Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU No. 28 Tahun 2007).

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berwenang memungut dan melakukan pemeriksaan terhadap pajak setiap wajip pajak, baik perorangan maupun badan. Namun kewenangan besar DJP belum berhasil mengoptimalkan pembayaran pajak. Di tengah fakta tak tercapainya target penerimaan negara dari sektor pajak, kalangan pengusaha mengusulkan penerapan kebijakan pengampunan pajak.

Wakil Ketua Komite Tetap Pajak Kamad Dagang dan Industri (Kadin), Antonius Prijo Handojo Kristanto, mengajukan usul pengampunan pajak itu dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (09/10) pekan lalu. Ia percaya pengampunan pajak justru bisa mendongkrak penerimaan pajak negara. “Lebih baik diberikan pengampunan pajak agar semua yang menunggak pajak mau membayar pajak,” ucapnya.

Tapi bagaimana caranya mendapat pengampunan pajak? Agar Wajib Pajak (WP) berhak mendapat pengampunan ada enam syarat yang harus dipenuhi. Pertama, WP yang belum punya NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sukarela mendaftarkan diri di kantor pajak terdekat. Kedua, menyampaikan pernyataan tertulis mengenai jenis pajak dan tahun pajak yang dimintakan pengampunan. Ketiga, menyampaikan daftar kekayaan yang benar bagi WP yang menyelenggarakan pembukuan.

Syarat keempat, menyampaikan neraca yang benar bagi WP orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan bagi WP badan. Kelima, mengisi Surat Pemberitahuan Pajak dengan benar pajak penghasilan, pajak kekayaan, pemotongan pajak penghasilan dan pajak penjualan serta pajak penjualan atas barang mewah terutang; dan keenam, mengisi dengan benar segala jenis pajak untuk periode tahun tertentu. Syarat-syarat ini ditetapkan Pemerintah lewat Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak.

Kebijakan pengampunan pajak tak mudah dijalankan. Buktinya, menurut Guru Besar Ilmu Perpajakan FISIP Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana, wacana pengampunan pajak sudah lama disampaikan tetapi selalu ditolak Pemerintah dan DPR. Kalaupun akan diterapkan, Prof. Haula mewanti-wanti agar penanganannya komprehensif. Perlu dikaji mendalam karena kemungkinan penerapan asas retroaktif lima tahun ke belakang. “Bisa tutup perusahaan kalau jumlahnya sangat besar,” ujarnya kepada hukumonline, Jum’at (11/10).

Frekuensi pemberian pengampunan pajak bisa menjadi bahan perdebatan. Prijo berpendapat pengampunan bisa diterapkan sekali dalam lima tahun. Tetapi Prof. Gunadi, juga Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia, dan Prof. Haula Rosdiana berpendapat ada kemungkinan moral hazard jika setiap lima tahun diberikan. “Saya tidak setuju kalau pemberlakuannya per lima tahun,” tandas Haula.

Gunadi khawatir kebijakan tax amnesty setiap lima tahun bisa membuat orang tak bayar pajak karena berharap ada pengampunan pada lima tahun mendatang. Penerapan kebijakan pengampunan harus merujuk pada alasan-alasan yang benar, plus ditopang pengawasan yang baik. Masalahnya, Gunadi bertanya, apakah kantor pajak punya data lengkap siapa saja yang layak diampuni dan data perpajakan mereka. “Harus punya data siapa-siapa yang perlu diampuni. Kalau tidak (minta pengampunan), ditegur karena ada datanya”.

Pengampunan pajak besar-besaran bisa dilakukan, kewajiban WP di masa lalu karena kealpaan bisa dihapuskan (tax clearance). Tetapi setelah itu penegakan hukum tegas harus dijalankan. “Tax amnesty itu harus dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas,” ujar Prof. Haula Rosdiana.

Tags:

Berita Terkait