BPJS Tegur Dua Ribuan Perusahaan
Berita

BPJS Tegur Dua Ribuan Perusahaan

Sanksi tak akan efektif untuk perusahaan di daerah tanpa didukung pemerintah daerah bersangkutan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Hampir dua tahun berjalan, belum semua perusahaan mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS Kesehatan dan membayar iuran sesuai ketentuan. Ancaman sanksi yang dimuat dalam perundang-undangan, dan pelibatan Kejaksaan, tak membuat semua perusahaan otomatis mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Kesehatan.

Berdasarkan PP No. 86 Tahun 2013, ada beragam sanksi yang dapat dijatuhkan mulai dari teguran tertulis, denda dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Jadi, jika ada pihak yang melanggar kewajiban, mereka seharusnya mendapatkan sanksi.

Direktur Hukum, Komunikasi dan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Purnawarman Basundoro, menjelaskan BPJS Kesehatan sudah melayangkan surat teguran tertulis kepada perusahaan-perusahaan yang belum patuh pada ketentuan BPJS.  “Ada sekitar dua ribuan perusahaan yang sudah kita berikan teguran tertulis,” katanya saat ditemui hukumonline di Malang, Jawa Timur, Kamis (27/8) lalu.

Agar sanksi berjalan efektif, khususnya di daerah, BPJS Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tengah melakukan koordinasi dengan pemangku kepentingan. Salah satu bentuk pelanggaran yang terjadi adalah wajib daftar seluruh pekerja dan ketentuan pembayaran iuran.

Purnawarman mengatakan surat teguran tertulis dilayangkan karena perusahaan belum mendaftarkan dirinya, pekerja dan keluarganya jadi peserta BPJS Kesehatan. Untuk perusahaan yang sudah mendaftar tapi belum patuh membayar iuran, petugas BPJS Kesehatan akan menyambangi perusahaan tersebut untuk melakukan pengecekan. Biasanya setelah dicek, perusahaan yang bersangkutan melunasi iuran BPJS Kesehatan yang tertunggak.

Selaras itu Purnawarman mengatakan BPJS dan DJSN sedang melakukan koordinasi dengan pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah dalam rangka menyiapkan penerapan sanksi berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Pelayanan publik yang bisa dihentikan untuk pihak yang belum mendaftar jadi peserta BPJS diantaranya perizinan IMB dan Surat Izin Mengemudi (SIM). “Kalau orang mau mengurus izin, syaratnya nanti harus sudah mendaftar jadi peserta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan,” ujarnya.

Sejumlah daerah yang sudah disambangi untuk koordinasi tersebut diantaranya Bandung, Balikpapan, Palembang dan Serang. Agar sanksi itu dapat diterapkan, dikatakan Purnawarman, dibutuhkan peraturan teknis tingkat daerah. “Daerah perlu menjabarkan teknisnya seperti apa. Bisa saja pemerintah daerah dan DPRD menerbitkan perda,” urainya.

Purnawarman menegaskan BPJS Kesehatan siap menindaklanjuti jika ada temuan lapangan. Misalnya, ada perusahaan yang sengaja memotong upah pekerjanya dengan alasan untuk mendaftarkan kepesertaan BPJS Kesehatan. Namun, uang itu tidak disetor ke BPJS Kesehatan. Jika itu terjadi maka BPJS Kesehatan akan menindaklanjutinya secara pidana. “Sampai saat ini kami belum menerima laporan kasus seperti itu. Tapi kalau itu terjadi kami siap memidanakan,” tegasnya.

Terpisah, anggota DJSN, Subianto, mengatakan sampai saat ini DJSN belum menghimpun data terkait jumlah pelanggaran yang dilakukan badan usaha terkait pelaksanaan BPJS, khususnya Kesehatan. Ia berpendapat salah satu pelanggaran yang dilakukan badan usaha dan merugikan buruh yaitu MoU antara BPJS Kesehatan dan Apindo yang melakukan penundaan aktivasi kepesertaan bagi badan usaha anggota Apindo.

Sebagaimana Purnawarman, Subianto mengatakan BPJS dan DJSN sedang melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Lewat koordinasi itu diharapkan penegakan hukum dalam pelaksanaan BPJS dapat berjalan baik. “Jadi nanti masyarakat yang mau mengurus KTP, IMB, SIM dan Visa kalau belum jadi peserta BPJS maka tidak akan diproses,” paparnya di Jakarta, Senin (31/8).

Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan penerapan sanksi sebagaimana diatur PP No. 86 Tahun 2013 tidak bisa diserahkan begitu saja kepada pemerintah daerah. Pelaksanaan sanksi itu harus diawasi oleh pemerintah pusat, antara lain Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan. Itu diperlukan agar penerapan sanksi terkait penghentian pelayanan publik tertentu oleh pemerintah daerah dapat berjalan sesuai harapan.

“Jika tidak ada pengawasan kami khawatir pemerintah daerah lebih mengutamakan investasi daripada penegakan hukum terkait BPJS,” papar Timboel di Jakarta, Selasa (01/9).

Selain itu Timboel mengingatkan, BPJS diberi kewenangan untuk membentuk petugas pengawas. Dalam menjalankan fungsinya melakukan pengawasan, petugas itu perlu berkoordinasi dengan BPJS pusat terkait temuan-temuan pelanggaran di lapangan. Kemudian, BPJS pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat diantaranya kementerian dalam negeri untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah. Sehingga penerapan sanksi yang dilakukan atas pelanggaran itu bisa berjalan optimal.
Tags:

Berita Terkait