Besok, Sidang Perdana Sengketa Pilkada Digelar
Berita

Besok, Sidang Perdana Sengketa Pilkada Digelar

MK tidak bisa mengabaikan berlakunya Pasal 158 UU Pilkada dalam proses penyelesaian sengketa pilkada ini.

ASH
Bacaan 2 Menit
Besok, Sidang Perdana Sengketa Pilkada Digelar
Hukumonline
Mulai Kamis (07/1) besok, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana (pendahuluan) atas 147 permohonan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dari 147 permohonan yang terdaftar ditangani 3 majelis panel secara proporsional yang sebelumnya masing-masing perkara dilakukan gelar perkara secara internal. Panel 1 diketuai Arief Hidayat, Panel 2 diketuai Anwar Usman, dan Panel 3 diketuai Patrialis Akbar.

Ketua MK Arief Hidayat mengaku dalam dua hari ini tiga majelis panel melakukan gelar perkara secara internal untuk meneliti semua permohonan yang masuk. “Tanggal 5-6 Januari ini, kita melihat semua permohonan dari aspek kelengkapan alat bukti, identitas, kuasa hukum, legal standing, tenggat waktu, termasuk syarat Pasal 158 UU Pilkada (batas selisih suara) dan syarat lain,” ujar Arief saat ditemui wartawan di Gedung MK, Rabu (06/1).

Arief menegaskan semua perkara yang masuk tetap disidangkan karena prinsipnya MK tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya. “Besok tanggal 7, 8, dan 11 Januari, semua perkara yang masuk akan didengar materi permohonannya secara lisan dalam sidang pendahuluan sekaligus perbaikan permohonan,” ujar Arief.

Selanjutnya, kata dia, pada 12-14 Januari 2015 sidang akan digelar kembali mendengarkan tanggapan/bantahan pihak termohon (KPUD), pihak terkait (pasangan pemenang pilkada) atas masing-masing permohonan. Lalu, tanggal 15, 16, 17 Januari, MK melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan kelanjutan semua permohonan dengan putusan sela yang sifatnya tertutup dan rahasia.

“RPH ini memutuskan perkara ini bisa dilanjutkan atau tidak ke sidang pleno yang dihadiri seluruh hakim konstitusi,” jelas Arief.  

Seperti permohonan hasil pilkada sebelumnya, dia menegaskan, setiap hakim konstitusi dilarang menangani sengketa pilkada yang berasal dari daerahnya. “Saya orang Semarang dan Guru Besar Undip, saya tidak boleh mengadili sengketa Pilkada di Jawa Tengah. Ini untuk menjaga independensi dan imparsialitas,” tegasnya.

Dalam kesempatan ini, Arief mengingatkan Pasal 158 UU Pilkada terkait selisih suara minimal di bawah 2 persen sebagai syarat menggugat tidak bertentangan UUD 1945. Sebab, aturan itu merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pembentuk Undang-Undang. “Inibukan MK yang menentukan, tetapi UU yang menentukan. Jadi, ya terserah politik hukum pembentuk UU dalam hal ini DPR dan Presiden,” dalihnya.

Menurutnya, pihaknya tidak bisa mengabaikan berlakunya Pasal 158 UU Pilkada dalam proses penyelesaian sengketa pilkada ini. “Tidak boleh, sumpah saya di hadapan Presiden, saya akan menjalankan perintah UUD 1945 dan UU. Melanggar etik saja kita dilaporkan ke Dewan etik. Janganlah kita diminta untuk melanggar. kita harus konsisten,” katanya.

Sebelumnya, sejumlah advokat konstitusi yang tengah menangani kasus sengketa pilkada memprotes berlakunya Pasal 158 Pilkada dengan meminta Presiden Joko Widodo diharap mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Beleid yang mengatur batas selisih suara sebagai syarat menggugat hasil pilkada ini dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Mereka menganggap MK bukanlah lembaga kalkulator yang hanya memeriksa dan mengadili perkara sengketa hasil pilkada atas dasar hitungan angka-angka. Namun, MK seyogyanya tetap memposisikan hasil lembaga penegak keadilan substantif dengan memutuskan perkara dengan proses yang benar sesuai konstitusi.

Untuk diketahui, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) telah mengariskan sengketa pilkada hanya menyangkut persoalan kesalahan penghitungan perolehan suara. Selain itu, sengketa hasil penghitungan suara yang bisa digugat ke MK ada syarat presentase tertentu yang dibatasi secara limitatif.

Misalnya, Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada menyebut syarat pengajuan (pembatalan hasil perolehan suara) jika ada perbedaan selisih suara maksimal 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi bagi provinsi maksimal 2 juta penduduk. Bagi penduduk lebih dari 2 juta hingga 6 juta, syarat pengajuan jika ada perbedaan selisih maksimal 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi.

Persoalan lain menyangkut pelanggaran etik, administratif, pidana pemilu, dan keabsahan penetapan pasangan calon merupakan kewenangan lembaga lain. Seperti, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu/Panwaslu), dan lewat penegakan hukum terpadu (Gakumdu), dan PTUN. Meski begitu, praktiknya tak jarang pelanggaran TSM dapat menjadi alasan dikabulkannya permohonan sengketa pilkada karena sudah menjadi salah satu asas hukum pemilu yang sifatnya kasuistis.
Tags:

Berita Terkait