Penindakan Terhadap Pelaku Pembubaran Ibadah Tergantung Fakta Hukum
Berita

Penindakan Terhadap Pelaku Pembubaran Ibadah Tergantung Fakta Hukum

Kejadian pembubaran ibadah diharapkan tidak terjadi lagi di kemudian hari.

ANT/YOZ
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: http://gamkutok.blogspot.co.id
Foto ilustrasi: http://gamkutok.blogspot.co.id
Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Dwi Priyatno, mengatakan pelaku pembubaran ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani di Gedung Sabuga, Bandung memungkinkan untuk ditindak jika ada fakta yuridisnya.

"Penegakan hukumnya ya kalau ada fakta yuridisnya pasti akan ditindak," kata Irwasum Dwi di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Jakarta, Jumat.
Terkait pembubaran ibadah itu, dia mengatakan penindakan bergantung pada fakta hukum yang terungkap. "(Penindakan) Nanti tergantung dari fakta hukumnya. Penindakan untuk yang preventif kan bisa saja," ujarnya.

Kejadian pembubaran ibadah tersebut diharapkan tidak terjadi lagi di kemudian hari. "Prinsipnya kan sudah dikasih tahu bahwa kalau sudah punya izin kan harus diberikan dan diamankan oleh kepolisian," tuturnya. (Baca Juga: Ini Sanksi Bagi yang Membubarkan Ibadah Keagamaan Secara Paksa)

Agar kejadian pembubaran ibadah itu tidak berulang, Irwasum Dwi mengatakan masyarakat harus memiliki dan menjaga toleransi antarumat beragama karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan keberagamaan. "Ya kita harus meningkatkan sikap toleran," ujarnya.

Sebelumnya, pada Selasa (6/12) sejumlah ormas keagamaan meminta agar kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) oleh Pendeta Stephen Tong di Sabuga, Bandung, dihentikan. Akhirnya, setelah melalui kesepakatan bersama, kegiatan KKR untuk Selasa malam-nya disepakati tidak jadi dilaksanakan. (Baca Juga: Mengapa Berkampanye di Tempat Ibadah Dilarang? Ini Penjelasan Hukumnya)  

Kejadian ini sempat menghebohkan masyarakat, khususnya wakil rakyat di DPR. Anggota Komisi III Masinton Pasaribu menilai pembubaran paksa kegiatan ibadah tersebut bentuk tragedi intoleransi. Sebab, nilai-nilai sakral kegiatan peribadatan suatu agama tidak lagi dihargai dan dihormati. Negara sesuai konstitusi mesti hadir memberikan rasa aman dan nyaman warganya dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.Negara pun tak boleh abai ketika terdapat warga negaranya dihambat oleh pihak lain dalam menjalankan ibadahnya. (Baca Juga: Profesi Hukum Kurang Jalankan Nilai-Nilai Agama)

“Aparatur negara tidak boleh kalah dan tunduk pada tekanan sekelompok massa dengan cara semena-mena menghentikan prosesi ibadah keagamaan,” katanya.

Sebagaimana diketahui, kebebasan beragama dan menjalankan ibadah juga diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 22 ayat (1), menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu,”. Sedangkan ayat (2) menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.

Menurut Masinton, Polri mesti bertindak tegas. Sebab, perbuatan merintangi kegiatan peribadatan suatu agama merupakan perbuatan tindak pidana. Aturan tersebut diatur dalam Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 175 KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”.

Tags:

Berita Terkait