Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Karyawan Dirumahkan, Bolehkah Perusahaan Merekrut Karyawan Baru?

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Karyawan Dirumahkan, Bolehkah Perusahaan Merekrut Karyawan Baru?

Karyawan Dirumahkan, Bolehkah Perusahaan Merekrut Karyawan Baru?
Erizka Permatasari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Karyawan Dirumahkan, Bolehkah Perusahaan Merekrut Karyawan Baru?

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya bagaimana jika sebuah perusahaan merumahkan karyawannya akan tetapi perusahaan tersebut menerima atau merekrut karyawan baru sedangkan karyawan yang dirumahkan sudah hampir 3 bulan terhitung 18 November 2015 hingga sekarang dan tidak mendapat uang (upah) sepeser pun dari perusahaan perbulannya. Juga tidak kunjung mendapat panggilan untuk bekerja kembali dan perusahaan mengupah karyawan jauh di bawah UMK. Bagaimana status hukumnya? Apakah perusahaan tersebut melakukan penipuan atau yang lainnya? Mohon pencerahan dan jawabannya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pengusaha yang mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, dapat merumahkan pekerja sebagai upaya untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (“PHK”). Adapun pekerja yang dirumahkan masih tetap berstatus sebagai pekerja di perusahaan tersebut.
     
    Apa sajakah hak-hak pekerja yang dirumahkan?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Nurul Amalia, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 18 Mei 2016.
     
    Pekerja yang Dirumahkan
    Pada dasarnya, baik Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) maupun Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah sebagian ketentuan UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara spesifik mengenai pekerja yang dirumahkan.
     
    Adapun pengaturan mengenai pekerja yang dirumahkan dapat dirujuk kepada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan ke Arah Pemutusan Hubungan Kerja (“SE Menaker 5/1998”) dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tahun 2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (“SE Menaker 907/2004”).
     
    Menurut SE Menaker 907/2004, pengusaha yang mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, harus melakukan upaya-upaya tertentu sebelum akhirnya melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) kepada karyawan. Salah satu upayanya yaitu meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu.[1]
     
    Berdasarkan SE tersebut, maka pengusaha dimungkinkan merumahkan pekerja sebagai upaya untuk menghindari terjadinya PHK.
     
    Namun, rencana merumahkan karyawan tersebut perlu dibahas terlebih dahulu dengan serikat pekerja atau wakil pekerja apabila perusahaan tersebut tidak memiliki serikat pekerja untuk mendapatkan kesepakatan secara bipartit sehingga kemungkinan terjadinya PHK dapat dicegah.[2]
     
    Status Hukum Pekerja yang Dirumahkan
    Berdasarkan ketentuan di atas, tindakan merumahkan pekerja ialah upaya perusahaan yang sedang dalam kondisi kesulitan untuk mencegah terjadinya PHK, dalam artian bahwa pekerja tersebut tetap dipertahankan sebagai pekerja.
     
    Selain itu, perlu diingat bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.[3] Adapun perjanjian kerja baru berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:[4]
    1. Pekerja meninggal dunia;
    2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
    3. Selesainya suatu pekerjaan tertentu;
    4. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
    5. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
    Dengan demikian, apabila hal-hal di atas tidak terjadi, menurut hemat kami, pekerja yang dirumahkan masih tetap berstatus sebagai pekerja di perusahaan tersebut.
     
    Hak Pekerja yang Dirumahkan
    Karena pekerja yang dirumahkan masih berstatus sebagai pekerja dan masih terikat hubungan kerja, maka pekerja tersebut tetap berhak atas hak-haknya sebagai pekerja, termasuk salah satunya yaitu upah.
     
    Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa hak pekerja atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.
     
    Lebih lanjut, SE Menaker 5/1998 menegaskan hak pekerja yang dirumahkan atas upah, dengan ketentuan sebagai berikut:[5]
    1. Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.
    2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan.
     
    Dengan demikian, apabila tidak diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka Anda sebagai pekerja yang dirumahkan masih berhak atas upah.
     
    Untuk itu, kami menyarankan Anda untuk mengecek kembali isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama agar Anda dapat mengetahui secara pasti apa saja hak Anda selama dirumahkan.
     
    Selain itu, Anda juga dapat menanyakan kepada serikat pekerja (jika ada) atau wakil pekerja di perusahaan Anda mengenai hasil perundingan rencana perusahaan merumahkan pekerja.
     
    Namun, apabila perusahaan merumahkan Anda dan tidak membayar upah Anda tanpa adanya ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, dan tanpa merundingkannya dengan Anda, serikat pekerja di perusahaan, atau perwakilan pekerja, maka apa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut adalah tidak berdasar.
     
    Bila Perusahaan Merekrut Karyawan Baru
    Secara hukum, pada dasarnya tidak ada larangan bagi perusahaan untuk merekrut karyawan baru selama perusahaan tersebut memenuhi kewajiban-kewajiban hukumnya.
     
    Dalam hal ini, Anda perlu mencari tahu terlebih dahulu apakah karyawan baru tersebut menempati posisi yang sebelumnya Anda tempati atau mengisi posisi lainnya. Hal tersebut penting mengingat adanya kemungkinan bahwa perusahaan tersebut merekrut pekerja baru bukan untuk menggantikan pekerja yang dirumahkan, akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan perusahaan terhadap sumber daya manusia dengan kualifikasi tertentu yang belum dimiliki perusahaan.
     
    Bila ternyata perusahaan merekrut pekerja baru untuk menggantikan Anda, sebaiknya Anda segera menanyakan kepada perusahaan perihal keberlangsungan status Anda sebagai pekerja serta meminta kepastian kapan Anda akan dipekerjakan kembali.
     
    Larangan Pengusaha Membayar Upah di bawah Upah Minimum
    Upah minimum kabupaten/kota (“UMK”) yang Anda singgung dalam pertanyaan merupakan upah minimum yang berlaku di dalam wilayah 1 kabupaten/kota.[6] Pada dasarnya, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.[7] Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja sesuai dengan kesepakatan yang tidak boleh lebih rendah dari jumlah yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.[8]
     
    Bagi yang melanggar ketentuan tersebut diancam dengan sanksi pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta.[9]
    Sebagai catatan, UU Cipta Kerja mengatur pengecualian terhadap kewajiban membayarkan upah minimum tersebut untuk usaha mikro dan kecil. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai pengecualian tersebut dapat Anda simak dalam artikel UU Cipta Kerja Terbit, Masih Adakah Penangguhan Pembayaran Upah Minimum?.
     
    Langkah Hukum Apabila Upah Tidak Dibayar Sesuai Ketentuan
    Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda mengenai status hukum dari tindakan perusahaan, menurut hemat kami terdapat indikasi bahwa perusahaan Anda telah melanggar hukum dengan tidak memberikah hak-hak Anda sebagaimana mestinya.
     
    Terhadap upah yang tidak dibayar sesuai ketentuan yang berlaku, baik karena pengusaha membayar upah di bawah UMK maupun karena perusahaan tidak membayar upah yang harusnya tetap dibayarkan selama pekerja dirumahkan, Anda dapat memperjuangkah hak Anda melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”).
     
    Permasalahan yang Anda hadapi dapat dikatergorikan sebagai perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,[10] yaitu perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.[11]
     
    Lebih lengkapnya mengenai upaya penyelesaian perselisihan hak dapat Anda simak dalam artikel Langkah Hukum Jika Upah Dibawah Standar Minimum.
     
    Selain itu, Anda juga dapat mengajukan permohonan PHK akibat pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu.[12]
     
    Apabila nantinya terjadi PHK, pengusaha wajib membayar kepada Anda uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.[13] Penjelasan selengkapnya mengenai hak-hak tersebut telah dijelaskan dalam artikel Begini Cara Menghitung Pesangon Menurut UU Cipta Kerja.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
     

    [1] Poin f SE Menaker 907/2004
    [2] SE Menaker 907/2004
    [3] Pasal 50 UU Ketenagakerjaan
    [4] Pasal 81 angka 16 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
    [5] Angka 1 dan 2 SE Menaker 5/1998
    [6] Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum (“Permenaker 15/2018”)
    [7] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88E ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [8] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (3) dan (4) UU Ketenagakerjaan
    [9] Pasal 81 angka 63 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 UU Ketenagakerjaan
    [10] Pasal 1 angka 2 UU 2/2004
    [11] Penjelasan Pasal 2 huruf a UU 2/2004
    [12] Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf g angka 3 UU Ketenagakerjaan
    [13] Pasal 81 angka 44 UU CIpta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    Tags

    hukumonline
    karyawan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya

    26 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!