10 Hal yang Patut Dicermati dalam Membuat Perjanjian
Berita

10 Hal yang Patut Dicermati dalam Membuat Perjanjian

Perjanjian perlu memuat identitas para pihak, ruang lingkup perjanjian, obyek yang diperjanjikan, masa berlaku perjanjian, hak dan kewajiban para pihak, sanksi, klausul force majeure, hukum yang digunakan, mekanisme penyelesaian sengketa, dan ditempel materai.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi perjanjian tertulis. Hol
Ilustrasi perjanjian tertulis. Hol

Tanpa disadari atau tidak, hampir setiap pelaksanaan kegiatan berkaitan dengan pembuatan perjanjian, seperti membuka rekening di bank, membuat surat kuasa, anggaran dasar perusahaan, pembelian barang baik secara daring dan luring, perjanjian jual beli tanah, perjanjian dalam berusaha, perjanjian kerja, dan lain-lain.  

Praktisi Hukum, Ike Farida, mengatakan hukum perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Ike mengatakan sedikitnya ada 10 hal yang patut dicermati dalam membuat perjanjian. Pertama, perjanjian harus memuat identitas para pihak termasuk alamat, domisili, usia, dan jenis kelamin. Perlu juga dijelaskan siapa yang menandatangani surat perjanjian itu, apakah sebagai individu atau mewakili badan hukum.

“Jika mewakili badan hukum, maka harus dijelaskan posisinya sebagai apa di badan hukum tersebut,” ujar Ike Farida dalam dialog bertema “Contract” yang diunggah di kanal Youtube Ike Farida.

Kedua, ruang lingkup perjanjian dan mengenai apa nama perjanjian ini. Ketiga, perjanjian perlu memuat obyek yang diperjanjikan. Keempat, masa berlaku perjanjian. Kelima, hak dan kewajiban para pihak perlu dicantumkan secara rinci. Keenam, sanksi (akibat hukum, red) jika hak dan kewajiban tidak terpenuhi.

Ketujuh, terkait keadaan memaksa atau force majeure. Menurut Ike, klausul force majeure ini perlu masuk dalam perjanjian untuk menyikapi keadaan di luar kemauan para pihak. Delapan, mekanisme penyelesaian sengketa yang dipilih ketika terjadi perselisihan misalnya pengadilan, arbitrase, atau lembaga lainnya. “Tapi, kalaupun pilihan penyelesaian sengketa ini tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka penyelesaian sengketa menggunakan mekanisme pengadilan,” kata dia.

Sembilan, menegaskan hukum yang disepakati para pihak untuk diterapkan dalam perjanjian. Misalnya, dalam hal jual beli yang dilakukan lintas negara (ekspor-impor). Begitu juga bahasa, untuk perjanjian yang dibuat di Indonesia harus berbahasa Indonesia. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa asing itu sifatnya hanya pelengkap. Sepuluh, tak kalah penting perjanjian itu perlu ditempel materai.

Selain itu, Ike mengingatkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai syarat sahnya berkontrak yakni para pihak harus sepakat, para pihak tidak boleh di bawah umur, usia minimal 18 tahun, dan objek yang diperjanjikan sesuatu yang halal. (Baca Juga: Tips Pembuatan Perjanjian Kawin dalam Perkawinan Campuran)

Perjanjian Kerja

Dalam kesempatan terpisah, Ike menguraikan salah satu bentuk perjanjian yakni perjanjian kerja. Dalam perjanjian kerja, Ike menjelaskan terlebih dulu harus mengerti apa yang dimaksud dengan hubungan kerja. Hubungan kerja yakni hubungan antara pengusaha dan pekerja yang memenuhi 3 unsur yakni ada upah, pekerjaan, dan perintah. Perjanjian kerja dibuat oleh pengusaha/perusahaan dengan pekerja yang isinya mengatur antara lain hak dan kewajiban para pihak. Misalnya, upah, mata uang yang digunakan untuk membayar upah, jenis dan ruang lingkup pekerjaan yang dilakukan, dan lain-lain.

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja perlu memuat identitas para pihak. “Identitas para pihak yang menandatangani perjanjian harus jelas, misalnya yang mewakili pihak pengusaha dilakukan direktur HRD, yang menandatangani harus orang Indonesia,” kata Ike dalam dialog bertema “Bagaimana Cara Membuat Perjanjian Kerja yang Benar?” yang diunggah di kanal Youtube Ike Farida.

Dia menerangkan dalam perjanjian kerja memiliki jenis yang beragam, seperti perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), harian lepas, dan per jam. Ike memberi beberapa contoh perbedaan antara PKWT dan PKWTT. Untuk PKWT, perjanjian harus tertulis, tapi untuk PKWTT bisa tidak tertulis dan perusahaan harus menerbitkan surat keputusan tentang pekerjaan untuk pekerja.

“Masa percobaan 3 bulan hanya boleh untuk PKWTT, tapi tidak boleh untuk PKWT,” kata dia.

Jika mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan selain mengundurkan diri, Ike menyebut pekerja PKWTT berhak mendapat pesangon, penggantian hak, dan penghargaan masa kerja. Untuk PKWT tidak mendapatkan kompensasi pesangon tersebut, tapi mendapat kompensasi ketika masa PKWT berakhir.

Untuk perjanjian kerja harian, Ike menjelaskan ketentuan perjanjian kerja harian lebih lanjut diatur dalam Kepmenaker No.100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Beberapa ketentuan untuk kerja harian yakni tidak boleh bekerja lebih dari 21 hari.

Ketentuan ini masih membolehkan masa kerja sampai lebih 21 hari, tapi tidak boleh lebih dari 3 bulan. Jika lebih dari 3 bulan pekerja harus diangkat menjadi PKWT atau PKWTT. “Untuk pekerjaan per jam, ketentuan ini diatur dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan akan diatur lebih detail dalam peraturan pelaksananya.”

Tags:

Berita Terkait