109 Lembaga Minta Moeldoko Cabut Somasi terhadap ICW
Terbaru

109 Lembaga Minta Moeldoko Cabut Somasi terhadap ICW

Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum diminta agar tetap pada komitmen untuk menjaga demokrasi di Indonesia dengan mengimplementasikan hukum dan kebijakan yang sudah dibuat untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk pemberangusan.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Kuasa Hukum Moeldoko, Otto Hasibuan terkait tudingan bisnis Ivermectin dan beras oleh ICW. Foto: RES
Kuasa Hukum Moeldoko, Otto Hasibuan terkait tudingan bisnis Ivermectin dan beras oleh ICW. Foto: RES

Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengkritik surat somasi Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko terhadap Indonesia Corruption Watch (ICW). Surat somasi itu berisi niat Moeldoko menempuh jalur hukum dengan melaporkan ke pihak berwajib bila ICW tidak bisa membuktikan tudingan bahwa Moeldoko berburu rente terkait bisnis Ivermectin (obat Covid-19) dan bisnis beras, serta tidak mau meminta maaf dalam waktu 1 x 24 jam.   

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 109 lembaga itu menilai somasi tersebut bentuk pembungkaman kritik dan semakin memperlihatkan resistensi seorang pejabat publik saat menerima kritik dari masyarakat. 109 lembaga yang dimaksud diantaranya: YLBHI, PBHI, Auriga Nusantara, ICJR, PSHK, ELSAM, ICEL, IJRS, IMPARSIAl, KontraS, LeIP, Greenpeace Indonesia, WALHI, AJI Indonesia, Serikat Mahasiswa Progresif UI, BEM STHI Jentera, BEM PM Universitas Udayana, BEM UI, LBH Makassar, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Surabaya, LBH Yogyakarta, LBH Samarinda, Aliansi BEM Seluruh Indonesia, SAFEnet, LBH Pers, LBH PP Muhammadiyah, sejumlah BEM dan LBH lain, dan lain-lain.   

Untuk itu, mereka mendesak Moeldoko menghormati proses demokrasi yakni kritik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ICW dan lebih berfokus pada klarifikasi pada temuan-temuan penelitian tersebut. Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan diminta mencabut somasi dan mengurungkan niat untuk melanjutkan proses hukum terhadap ICW.

“Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum agar tetap pada komitmen untuk menjaga demokrasi di Indonesia dengan mengimplementasikan hukum dan kebijakan yang sudah dibuat untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk pemberangusan,” ujar salah perwakilan Koalisi dari PBHI, Julius Ibrani kepada Hukumonline, Jum’at (30/7/2021). (Baca Juga: Bantah Tudingan Berburu Rente, Moeldoko Somasi ICW)

Julius menerangkan ICW sebagai bagian masyarakat sipil sedang menjalankan tugas pengawasan terhadap jalannya proses pemerintahan. Hal ini sangat lazim dilakukan organisasi masyarakat sipil lain sebagai bentuk partisipasi untuk memastikan adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terlebih, ICW menuangkan pendapatnya dalam sebuah penelitian yang didasarkan kajian ilmiah didukung data dan fakta dalam konteks terkini upaya pencegahan korupsi di sektor farmasi. 

“Tidak salah jika dikatakan langkah Moeldoko baik somasi maupun niat untuk memproses hukum lanjutan, merupakan tindakan yang kurang tepat dan berlebihan,” sebutnya.

Dalam kasus ini, ada dua isu yang tampak di masyarakat. Pertama, upaya pemberangusan nilai demokrasi yang mengabaikan serangkaian regulasi hak menyatakan pendapat. Langkah Moeldoko ini berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia Apalagi, pada awal Februari lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU), menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Ini angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.

“Indonesia mendapat rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan. Karena itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu dihentikan,” lanjut Julius.

Kedua, melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil. Merujuk data SAFENet, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan. Seperti, aktivis, jurnalis, hingga akademisi. Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik.

“Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia,” katanya.   

Kontruksi hukum keliru

Perwakilan Koalisi dari YLBHI, Muhammad Isnur, menilai terdapat konstruksi yang keliru memaknai aspek pelanggaran hukum dari penelitian ICW tersebut. Jika dimaknai sebagai delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur UU ITE jo KUHP, penting dijelaskan lebih lanjut. KUHP pada dasarnya memuat alasan pembenar yang relevan ketika dikaitkan dengan penelitian ICW yakni Pasal 310 ayat (3) KUHP, tidak merupakan pencemaran jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum.

“ICW memaparkan temuan dalam konteks kepentingan pemerintah untuk mencegah adanya praktik rente dan conflict of interest di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19, yang jelas berhubungan dengan kepentingan publik,” kata Isnur.

Permasalahan lain tampak ketika yang digunakan UU ITE. Ini karena adanya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam dokumen itu, tepatnya bagian Pasal 27 ayat (3) bagian c disebutkan bahwa bukan delik pencemaran nama baik jika muatannya berupa penilaian atau hasil evaluasi.

“Pernyataan yang dikeluarkan ICW lahir dari sebuah penelitian yang memiliki metode, data dan referensi yang jelas. Tentu ini telah memenuhi ketentuan tersebut karena telah melewati proses penilaian dan evaluasi suatu isu yang menjadi perhatian masyarakat,” terangnya.

Menurutnya, tanpa harus menempuh jalur hukum, Moeldoko dapat menyampaikan bantahan atas temuan ICW dengan menggunakan hak jawab sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 11 UU Pers. “Hasil penelitian ICW itu diketahui khalayak ramai karena dimuat di berbagai pemberitaan media. Dalam negara demokrasi, mekanisme inilah yang harusnya didorong dan ditempuh, bukan dengan ancaman pidana."  

Sebelumnya, Kuasa Hukum Moeldoko, Otto Hasibuan dalam konferensi persnya secara virtual, Kamis (29/7/2021) kemarin, membantah tuduhan ICW terkait dugaan adanya keterkaitan dengan PT Harsen Laboratories sebagai produsen Ivermectin obat yang diklam alternatif terapi Covid-19 dan bisnis beras yang melibatkan Moeldoko.

Menurutnya, siaran pers yang dibuat ICW di laman websitenya seolah menggiring publik dan membentuk opini bahwa Moeldoko memiliki keterkaitan dengan PT Harsen Laboratories dalam mempromosikan produk Ivermectin. Begitu pula bisnis beras dengan membawa nama Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dimana Moeldoko sebagai ketua umum HKTI.

“Tuduhan itu tidak bertanggung jawab karena merupakan fitnah dan pencemaran nama baik terhadap klien kami secara pribadi maupun sebagai KSP,” ujar Kuasa Hukum Moeldoko, Otto Hasibuan.        

Otto menegaskan Moeldoko tak memiliki kaitan atau hubungan apapun dengan PT Harsen Laboratories sebagai produsen Ivermectin. “Gak ada hubungannya, bukan pemegang saham dan bukan direktur atau direksi,” kata Otto.

Demikian pula dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa tak memiliki hubungan secara hukum. Otto menjelaskan PT Noorpay Nusantara Perkasa merupakan perusahaan yang tidak bergerak di bidang farmasi atau bisnis ekspor beras, tapi bergerak di bidang informasi dan teknologi (IT). Tapi ICW, seringkali mengkaitkan Moeldoko dengan PT Harsen Laboratories dan PT Noorpay Nusantara Perkasa.

Tapi, Otto membenarkan putri Moeldoko bernama Joanina Rachman sebagai pemegang saham mayoritas PT Noorpay Nusantara Perkasa. Menurutnya, meski seorang anak pejabat, adalah hal wajar berbisnis sepanjang orang tuanya tidak ikut campur. “Moeldoko sebagai pribadi ataupun KSP tidak ada hubungan secara hukum dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa. Lagi pula, PT Noorpay bergerak di bidang IT, tidak ada kaitan bisnis ekspor beras dan invermectin,” tegasnya.

Diakuinya, Moeldoko memang sebagai Ketua Umum HKTI. Dalam perjalanannya, HKTI pernah bekerja sama dengan PT Noorpay Nusantara Perkara dalam kaitannya mengirim tenaga training ke Thailand dalam rangka kepentingan para petani. Tapi, kerja sama ini tidak dalam bentuk bisnis beras. Dengan demikian, kedua tudingan itu tidaklah berdasar, malahan sebagai bentuk pencemaran nama baik dan fitnah.

Untuk itu, dia memberi kesempatan ICW untuk membuktikan tudingannya bahwa Moeldoko berburu rente dalam waktu 1x24 jam. Bila ICW ataupun Peneliti ICW Egi Primayogha tak dapat membuktikan tudingannya tersebut, Moeldoko meminta agar ICW mencabut pernyataannya serta melakukan permintaan maaf kepada Moeldoko secara terbuka melalui media cetak dan elektronik sebagai upaya membersihkan nama baik yang telah dicemarkan. Bila tak dapat membuktikan tudingannya, tak mencabut pula pernyataannya, dan tak bersedia minta maaf, pihaknya akan melayangkan laporan ke pihak kepolisian.

Tags:

Berita Terkait