2 Kebijakan yang Dibutuhkan Industri Fintech
Berita

2 Kebijakan yang Dibutuhkan Industri Fintech

Masyarakat diimbau untuk selalu memilih fintech yang terdaftar di OJK atau Bank Indonesia (BI) untuk meminimalisasi risiko yang mungkin timbul di kemudian hari.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan industri financial technology (Fintech) di Indonesia membutuhkan dua kebijakan yakni light touch regulation dan safe harbour policy agar tertata dengan baik. Direktur Eksekutif Inovasi Keuangan Digital OJK, Triyono Gani, mengatakan industri fintech tidak bisa diatur terlalu ketat sehingga perlu azas light touch regulation. Namun juga tak bisa dilepaskan begitu saja, harus ada safe harbour policy untuk mengatur tanggung jawab penyedia layanan.

 

"Pertumbuhan industri fintech di Indonesia luar biasa pesat, padahal 2017 sektor ini masih belum dikenal. Perkembangan yang luar biasa tersebut akibat tingkat adopsi dan akseptabilitas masyarakat yang tinggi,” kata Triyono seperti dilansir Antara, Minggu (3/11).

 

Namun, tambahnya, masyarakat juga harus diingatkan bahwa selain kemudahan dan kegratisan yang selama ini disodorkan ada risiko tinggi yang menanti. Oleh karena itu, OJK ingin agar industri tersebut aman dan tertata dengan baik maka regulator tidak akan tinggal diam.

 

Kepada masyarakat Triyono mengimbau untuk selalu memilih fintech yang terdaftar di OJK atau Bank Indonesia (BI) untuk meminimalisasi risiko yang mungkin timbul di kemudian hari. "Dengan terdaftar di OJK atau BI maka pelanggan akan mendapat perlindungan jika terjadi permasalahan," ujarnya.

 

Triyono menjelaskan beberapa potensi risk di balik maraknya layanan fintech, yaitu system failure, misinformation, error transaction, data security, penerapan Know Your Concumer (KYC) principles, suku bunga yang mencekik, exoneration clause, dan cara penanganan komplain dari pelanggan.

 

Sedangkan kepada para startup dan penyedia layanan fintech, OJK selalu mengingatkan bahwa layanan mereka berada dalam ranah finansial yang highly regulated. Oleh sebab itu, mereka tidak bisa sembarangan dalam menjamin keamanan pelanggan.  

 

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pernah mengingatkan pentingnya bagi perusahaan fintech mengutamakan perlindungan konsumen. Menurutnya, transaksi fintech yang dilakukan tanpa tatap muka meningkatkan risiko pelanggaran-pelanggaran tersebut khususnya sehungan data pribadi konsumen.

 

Dia menjelaskan dalam sektor jasa keuangan, pengaturan data pribadi konsumen fintech masih belum terlalu ketat dibandingkan industri lainnya seperti perbankan, asuransi dan pasar modal. Sehingga, dia menilai perlu ada aturan setingkat undang-undang sebagai landasan hukum perlindungan data pribadi masyarakat.

 

"Perlindungan konsumen ini sangat penting khususnya perlindungan data pribadi. Kalau ada Undang Undang soal perlindungan data maka itu bisa melindungi masyarakat," jelas Wimboh dalam "Indonesia Fintech Summit and Expo 2019", Senin (23/9) lalu di Jakarta.

 

Atas kondisi tersebut, dia melanjutkan data nasabah fintech berisiko disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab.  Terlebih lagi, proses pembuktian di pengadilan juga masih sulit terhadap gugatan pelanggaran data pribadi.

 

Salah satu upaya mengisi kekosongan payung hukum tersebut, Wimboh menjelaskan pihaknya telah mengamanatkan kepada asosiasi fintech sebagai wakil pelaku usaha untuk membuat kode perilaku sehubungan perlindungan konsumen. Dalam kode perilaku tersebut diatur mengenai tanggung jawab perusahaan fintech dalam menjaga dan melindungi kerahasiaan data nasabah. Di sisi lain, Wimboh juga meminta agar masyarakat lebih sadar dalam menyebarluaskan data pribadi.

 

(Baca: Tantangan Industri Fintech, dari Risiko TPPU Hingga Kualitas SDM)

 

Sebelumnya, Satgas Waspada Investasi (SWI) kembali temukan 297 entitas financial technology peer to peer lending (fintech P2P) ilegal atau tidak terdaftar di OJK selama Oktober. Jumlah tersebut memperpanjang daftar fintech P2P ilegal dengan total entitas fintech lending ilegal yang ditangani sampai 31 Oktober 2019 sebanyak 1.773 entitas fintech lending ilegal.

 

Pada 7 Oktober 2019, Satgas juga menemukan 133 entitas fintech lending ilegal. Namun dalam perkembangannya terdapat satu entitas yang telah membuktikan bahwa kegiatannya bukan merupakan fintech lending yaitu aplikasi Danapro milik Jason Christoper Sudirdjo sehingga dilakukan normalisasi atas aplikasi yang telah diblokir.

 

“Kami kembali menemukan sebanyak 297 entitas fintech ilegal. Kami meminta masyarakat mewaspadai entitas fintech ilegal tersebut karena mereka tidak terdaftar di OJK. Sehingga, risiko sangat berat karena mereka tidak diketahui alamatnya di mana, bunga tinggi dan dapat mengakses seluruh data di HP nasabah,” jelas Ketua SWI, Tongam Lumban Tobing, di Jakarta, Kamis (31/10). (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait