2 Pasal RKUHP Ini Dinilai Bisa Lemahkan Profesi Advokat
Utama

2 Pasal RKUHP Ini Dinilai Bisa Lemahkan Profesi Advokat

DPR maupun Pemerintah diharap menghapus kedua pasal tersebut dari RKUHP, karena selain tidak membawa kepastian hukum yang berkeadilan.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Masih Berfilosofi Kolonial Diharapkan RKUHP Tidak Buru-Buru Disahkan)

 

Pada Putusan a quo ditegaskan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan. Selain mempersoalkan rumusan Pasal 281, pihaknya juga mempersoalkan Pasal 282 RKUHP.

 

Pasal 282:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang:

  1. mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau
  2. mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

 

Ketentuan Pasal a quo, dinilainya dapat menurunkan kredibilitas Advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile). Pasal  a quo seolah menggambarkan bahwa Advokat yang sedang menjalankan profesinya dengan “mempengaruhi” aparat penegak hukum melalui cara-cara yang sah dan tidak melawan hukum seolah-olah menjadi identik dengan suatu perbuatan yang curang. Jalur sah dan tidak melawan hukum dimaksud seperti mempengaruhi dengan argumentasi hukum (legal reasoning) yang baik, misalnya.

 

“Pasal tersebut bisa membatasi kewajiban advokat dalam memberikan argumentasi hukum untuk mempengaruhi aparat penegak hukum. Ketika advokat menjalankan kewajiban itu masa bisa diidentikkan dengan perbuatan curang meski sama sekali tidak memberikan suap, gratifikasi seperti yang dilarang dalam UU Tipikor?” jelasnya.

 

Padahal, sebagai profesi yang officium nobile sebelum seseorang menjadi advokat wajib mengucapkan Sumpah Advokat (vide; Pasal 6) dan memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 5 UU Advokat. Dengan begitu, jelas bahwa pertanggungjawaban moral seorang advokat bukan hanya kepada klien yang dibelanya melainkan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa serta bangsa dan negara.

 

“Kami meminta kepada DPR maupun Pemerintah untuk segera menghapus kedua Pasal tersebut dari RKUHP, karena selain tidak membawa kepastian hukum yang berkeadilan, ketentuan tersebut juga dapat mengakibatkan kegaduhan yang tidak perlu dan berpotensi untuk diuji materi di Mahkamah Konstitusi,” tutupnya.

 

Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, juga menolak rencana pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RKUHP menjadi UU pada 24 September 2019.

Tags:

Berita Terkait