Mereka yang Berjasa dalam Penerjemahan ‘Resmi’ KUHP
Potret Kamus Hukum Indonesia

Mereka yang Berjasa dalam Penerjemahan ‘Resmi’ KUHP

Ada banyak tokoh hukum yang pernah terlibat dalam penyusunan KUHP nasional. Prof. Sahetapy disebut sebagai tulang punggungnya.

Oleh:
Muhammad Yasin/Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Apakah arti weggepromoveerd? Pakar hukum J.E. Sahetapy pernah menguraikan istilah dalam bahasa Belanda ini dalam sebuah tulisan, dan menyatakan belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah ini, tulis mantan anggota Komisi Hukum Nasional itu, memberikan suatu gambaran betapa rusaknya seluruh tatanan dan sistem dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena digunakannya kebijakan weggepromoveerd.

 

Intinya, istilah ini merujuk pada pejabat tinggi yang menyalahgunakan jabatan atau bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Seharusnya pejabat yang demikian diberhentikan atau di-nonjob-kan. Bahkan dalam perspektif rule of law, pejabat dimaksud seharusnya diproses hukum. Jika pejabat dimaksud dilindungi, bahkan diberi jabatan yang lebih tinggi, itulah yang disebut weggepromoveerd.

 

Kemampuan mengenal dan memahami bahasa Belanda atau mengartikan istilah-istilah tertentu merupakan syarat untuk menjadi penerjemah Wetboek van Strafrecht (WvS) ke dalam bahasa Indonesia (KUH Pidana). Sahetapy, yang menguasai aktif bahasa Belanda dan Inggris serta pasif berbahasa Jerman dan Perancis, adalah salah seorang ahli hukum yang berjasa dalam pembuatan terjemahan resmi KUHP. Mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) JCT Simorangkir menyebutkan Sahetapy sebagai ‘tulang punggung’ pelaksanaan tugas penerjemahan WvS.

 

Kini, ada banyak buku KUHP yang beradar di pasaran. Namun yang dianggap sebagai terjemahan ‘resmi’ adalah KUHP yang diterbitkan oleh BPHN dan Sinar Harapan pada 1983. Namun kata-kata ‘terjemahan resmi’ sudah dihilangkan dalam penerbitan KUHP oleh BPHN pada 2010. Meskipun demikian, nama-nama tokoh hukum yang terlibat dalam tim penerjemahan masih disebut, termasuk dalam kata pengantar oleh Kepala BPHN kala itu Ahmad M. Ramli. Prof. Ramly menulis “pada waktu itu terjemahan ini dianggap resmi, dan dijadikan acuan referensi praktisi hukum dan teoritisi hukum di Indonesia’. Dalam pengantar buku terjemahan ‘resmi’ KUHP, Sahetapy menulis 8 langhah kebijakan yang ditempuh. (Baca juga: Asyiknya Berbincang dengan Dosen-Dosen Muda Hukum Pidana)

 

Hukumonline.com

 

Kepala BPHN, Benny Riyanto, mengatakan bahwa terjemahan kitab (KUH Pidana, HIR/RBg dan KUH Perdata) sudah diterima oleh masyarakat hukum dan dipakai sehari-hari. Menurut dia, sejauh ini nyaris tidak ada persoalan makna dalam penerjemahan. Penerjemahan resmi sepertinya sudah tinggal angan-angan. Selain sudah ada draf RUU KUHP dan RUU Hukum Acara Perdata, penerjemahan itu bukanlah tupoksi BPHN saat ini.

 

Selain Sahetapy, ada sejumlah tokoh hukum yang terlibat dalam penerjemahan ‘resmi’ KUHP. Sedangkan dalam penyusunan dan pengkajian RUU KUHP lebih banyak lagi tokoh hukum yang terlibat. Sejak 1960-an anggota tim silih berganti. Khusus untuk tim penerjemah WvS ke dalam bahasa Indonesia yang dibentuk pada 1981, hanya sedikit nama yang disebut dalam dokumentasi KUHP BPHN. Nama-nama mereka diabadikan juga dalam disertasi Ab Massier The Voice of the Law in Transition: Indonesian Jurists and Their Language. Siapa saja mereka? Berikut ringkasannya.

 

Baca:

Tags:

Berita Terkait