3 Catatan Apindo Terhadap RUU KUHP
Terbaru

3 Catatan Apindo Terhadap RUU KUHP

Meliputi hukum yang hidup di masyarakat (living law); tindak pidana korporasi; dan pemidanaan terhadap perzinahan karena potensi menghambat investasi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ketua Umum APINDO Hariyadi B. Sukamdani (kanan) bersama Ketua Bidang Kebijakan Publik APINDO Sutrisno Iwantono (tengah) saat konferensi pers terkait RUU KUHP, Kamis (20/10/20220. Foto: ADY
Ketua Umum APINDO Hariyadi B. Sukamdani (kanan) bersama Ketua Bidang Kebijakan Publik APINDO Sutrisno Iwantono (tengah) saat konferensi pers terkait RUU KUHP, Kamis (20/10/20220. Foto: ADY

Pemerintah terus menggencarkan sosialisasi terhadap RUU KUHP melalui berbagai kegiatan. Tapi masih ada kalangan yang merasa belum dilibatkan pemerintah dan DPR dalam membahas RUU KUHP, salah satunya adalah organisasi pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Ketua Umum DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, mengatakan pihaknya telah melayangkan surat kepada DPR untuk meminta rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait RUU KUHP. Tapi sampai saat ini baik dari pihak DPR dan pemerintah belum memberikan tanggapan. Hariyadi mencatat sedikitnya ada 3 persoalan yang disorot Apindo.

Pertama, ketentuan yang mengatur hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau terkait hukum adat. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan kriminalisasi berlebihan terhadap perbuatan yang sebenarnya tidak diatur atau dilarang dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini akan bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum.

“Hukum adat itu sesungguhnya hanya perlu dihormati, diakui, dan dijamin eksistensinya saja tanpa perlu dimasukkan dalam RUU KUHP,” kata Hariyadi B Sukamdani dalam konferensi pers, Kamis (20/10/2022).

Baca Juga

Apindo menilai hukum adat yang diakomodir dalam RUU KUHP ini akan memicu ketidakpastian hukum, sehingga menurunkan minat investasi di daerah tersebut karena ada kewajiban mematuhi hukum adat setempat. Hariyadi khawatir ketentuan ini disalahgunakan karena proses pemidanaan bisa tetap dilakukan selama dianggap melanggar hukum adat setempat sekalipun tidak ada aturannya secara tertulis.

Hariyadi memberikan contoh di bidang pertanahan dimana masyarakat hukum adat kerap memiliki tanah ulayat. Ketika suatu perusahaan sudah membeli tanah dari masyarakat adat, bisa jadi nanti ada masyarakat adat lainnya mengklaim tanah tersebut miliknya. Jika hukum adat diakomodir dalam RUU KUHP, maka persoalan tanah seperti ini akan memunculkan ketidakpastian hukum.

Tags:

Berita Terkait