3 Faktor Penyumbang Fraud Terbesar Pada Perusahaan dan Institusi
Utama

3 Faktor Penyumbang Fraud Terbesar Pada Perusahaan dan Institusi

Penerapan manajemen risiko anti fraud merupakan upaya untuk mencegah risiko fraud menjadi kenyataan.

Willa Wahyuni
Bacaan 2 Menit
Chalid Heyder selaku Managing Partner Hogan Lovells DNFP dalam webinar Hukumonline, Kamis (30/3). Foto: WIL
Chalid Heyder selaku Managing Partner Hogan Lovells DNFP dalam webinar Hukumonline, Kamis (30/3). Foto: WIL

Berdasarkan data survei Fraud Indonesia 2019 oleh  Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) total kerugian yang diakibatkan oleh fraud mencapai Rp873 miliar. Survei tersebut melibatkan responden yang merupakan pihak-pihak yang menangani kasus fraud.

Berdasarkan survei tersebut, pihak yang melakukan fraud adalah seseorang yang berada di internal perusahaan, manajer, dan pemilik perusahaan sehingga hal ini menjadi perhatian serius, mengingat fraud bisa dilakukan oleh siapa saja di dalam perusahaan maupun di dalam instansi.

“Fraud menjadi topik hangat saat ini karena dalam perkembangannya, fraud ini terjadi dimana-mana dan sistematis meluas ke perusahaan dan lembaga pemerintahan yang pada akhirnya kejadian ini dapat menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan secara materil dan imateril,” jelas Chalid Heyder selaku Managing Partner Hogan Lovells DNFP dalam webinar Hukumonline, Kamis (30/3).

Baca Juga:

Fraud atau perbuatan curang menurut Pasal 378 KUHP, adalah barang siapa yang maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dnegan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pada dasarnya, fraud adalah serangkaian ketidakberesan dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang luar atau orang dalam perusahaan untuk mendapatkan keuntungan dan merugikan orang lain.

“Dari bentuk-bentuk fraud, korupsi merupakan fraud tertinggi dan yang paling sering terjadi,” lanjut Chalid.

Dari kasus fraud yang pernah ada, korupsi menempati 70% sebagai penyumbang kerugian paling besar yaitu lebih dari Rp300 miliar, yang kemudian diikuti oleh penyalahgunaan aset sebanyak 20%, dan pemalsuan keuangan sebanyak 9%.

“Namun, fraud bisa di kontrol dengan benar dan dihilangkan dalam suatu perusahaan,” kata dia.

Melihat kasus yang menjadi penyebab terjadinya fraud, terdapat tiga klasifikasi fraud dalam tiga tingkatan yaitu penyalahgunaan aset, pernyataan palsu, dan korupsi. 

“Kami melihat penyalahgunaan aset ini meliputi pencurian harta perusahaan yang merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi dan diukur, sehingga tidak terlalu susah untuk melakukan investigasi dan menemukan fraud diklasifikasi ini,” terang Chalid.

Kemudian, pernyataan palsu atau kecurangan laporan yang meliputi tindakan seorang pejabat di perusahaan atau instansi yang menutupi laporan keuangan yang sebenarnya.

“Biasanya untuk melakukan pernyataan palsu ini bisa diketahui jika dilakukan audit oleh auditor dan konsultan keuangan,” jelasnya.

Lalu, klasifikasi ketiga yaitu korupsi yang mana menurut dia korupsi merupakan jenis fraud yang paling sulit dideteksi. Jikapun bisa, maka akan membutuhkan waktu dan investigasi dengan pihak lain di luar perusahaan.

“Berdasarkan dari apa yang ada di lapangan, fraud tidak terjadi begitu saja. Ada penyebab dan proses yang mana penyebabnya berdasarkan adanya tekanan untuk melakukan, adanya keinginan untuk mendapatkan financial stability dan personal financial need,” pungkas Chalid.

Potensi fraud akan tetap ada di dalam sebuah perusahaan dan instansi pemerintahan. Fraud bisa terjadi selama ada celah dan potensi penipuan di dalam sebuah perusahaan atau instansi pemerintahan, oleh sebab itu pelaporan keuangan dan pengelolaan aset menjadi hal yang harus dikelola dengan baik.

Tags:

Berita Terkait