Perbankan 'Digerogoti' Fraud dari Dalam
Utama

Perbankan 'Digerogoti' Fraud dari Dalam

Bank-bank yang tergabung dalam Forum Anti Fraud dan Investigasi Perbankan mesti saling berkoordinasi mencegah dan menangani fraud.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Acara sosialisasi “Penanganan Dugaan Tindak Pidana Perbankan dan Forum Anti Fraud” yang digelar OJK di gedung Bidakara, Jakarta, Senin (14/11). Foto: NNP
Acara sosialisasi “Penanganan Dugaan Tindak Pidana Perbankan dan Forum Anti Fraud” yang digelar OJK di gedung Bidakara, Jakarta, Senin (14/11). Foto: NNP
Salah satu alasan kenapa Tiongkok membangun tembok yang banyak dikenal sebagai “Tembok Cina” sepanjang puluhan kilometer adalah untuk melindungi wilayah kekaisaran mereka dari serangan bangsa nomad di Utara. Upaya itu awalnya berhasil, sampai akhirnya pertahanan mereka runtuh juga setelah adanya ‘orang dalam’ yang merusaknya.

Demikian pernyataan pembuka dari Budi Armanto, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam acara sosialisasi “Penanganan Dugaan Tindak Pidana Perbankan dan Forum Anti Fraud” yang digelar OJK di gedung Bidakara, Jakarta hari Senin (14/11). Pesan Budi sangatlah sederhana, ia hanya ingin menegaskan bahwa sekuat-kuatnya perlindungan dan pencegahan yang dilakukan. Itu akan percuma ketika ada penyelewengan dari internal suatu lembaga.

“Ketika sudah ada kerjasama dengan orang dalam, ini akan sulit dan jadi resiko yang besar,” katanya.

Menurutnya, siapapun bisa menjadi pelaku fraud, tanpa terkecuali pegawai bank itu sendiri. Bahkan, pelaku fraud itu sendiri ternyata ada di setiap kalangan, mulai dari staf biasa hingga direktur utama suatu bank. Catatan OJK tahun 2014 dan 2015 misalnya, pelaku fraud terbanyak justru dilakukan oleh Direksi yang jumlah mencapai 31 orang dan meningkat di tahun 2015 menjadi 35 orang.

Menjelang akhir ini, tren serupa kembali terulang. Dimana pada Triwulan III tahun 2016, tercatat sudah ada 14 Direksi yang melakukan fraud lalu menyusul terbanyak kedua dilakukan oleh pejabat eksektif perbankan sebanyak 13 orang. Kata Budi, kondisi seperti itu cukup menyulitkan terutama bagi unit khusus pencegahan dan penanganan anti fraud di internal perbankan masing-masing ketika akan melakukan suatu tindakan.

Untuk menyamakan persepsi, fraud sendiri menurut OJK merupakan kesengajaan membuat pernyataan yang salah tentang suatu hal yang benar atau menyembunyikan fakta yang benar untuk mempengaruhi orang lain berbuat kerugian. Regulasi terkait fraud pernah dikeluarkan oleh otoritas Bank Indonesia (BI) melalui Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.13/28/DPNP.(Baca Juga: BI Keluarkan Surat Edaran Anti Fraud)

Lewat SEBI No.13 tersebut, fraud didefinisikan sebagai tindakan penyimpangan yang sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu, atau memanipulasi bank atau nasabah yang dilakukan di lingkungan bank dan/atau menggunakan sarana bank yang mengakibatkan nasabah atau pihak lain menderita kerugian dan pelaku fraud mendapatkan keuntungan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Investigator Eksekutif Senior OJK, Tini Kustini menjelaskan bahwa OJK memiliki kewenangan dalam melakukan investigasi. Pasal 69 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan setidaknya mengatur tiga jenis kewenangan investigasi seperti pemeriksaan berkala terhadap perusahaan induk, anak perusahaan, pihak terkait, pihak terafiliasi, sampai debitur bank.

Kedua, OJK juga berwenang memerintahkan bank untuk menghentikan transaksi yang patut diduga merupakan tindak pidana bank terkait Pasal 46 sampai Pasal 50A UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Perbankan atau Pasal 59 sampai Pasal 66 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta yang ketiga OJK juga dapat menugaskan Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk dan atas nama OJK melakukan pemeriksaan.

“Investigasi perbankan sendiri merupakan bagian dari pengawasan bank. Bila pengawas bank fokus dari sisi lembaga, Sementara investigasi bank fokus pada perbuatan setiap oang yang terindikasi tindak pidana perbankan,” kata Tini.

Nantinya, produk akhir dari suatu investigasi umumnya berupa dokumen yang mendukung penyidikan oleh penyidik OJK berupa bukti dugaan tindak perbana perbankan yang akan dilimpahkan ke penyidik OJK. Dengan kata lain, letak fungsi investigasi lebih kepada upaya mendukung penyidikan di OJK.

Menurut Tini, tahap investigasi ini mengedepankan proses pembinaan terhadap perbankan lantaran tindak pidana perbankan yang diatur lewat UU Perbankan atau hukum administrasi berlaku sebagai langkah terakhir (ultimum remedium) apabila upaya hukum lainnya sudah tidak dapat dilakukan.

Di tempat yang sama, Kepala Unit Crime & Fraud Investigation Bank Mega, Budi Setio Wibowo mengatakan bahwa fraud tidak bisa ditangani sendiri oleh perbankan masing-masing. Menurutnya, penanganan dan pencegahan fraud mesti dilakukan secara bersama-sama antara bank satu dengan yang lainnya.

“Tidak bisa ditangani sendiri, karena ini pelaku dari oknum internal dan juga eksternal,” katanya.

Sejak beberapa tahun lalu, telah terbentuk “Forum Anti Fraud dan Investigasi Perbankan”. Anggotanya saat ini terdiri sekitar 40 bank yang ada di Indonesia. lewat forum ini, bank anggota dapat saling tukar menukar informasi hingga kerjasama penanganan kasus. Kabar baiknya, forum ini mendapat dukungan dari OJK khususnya Departemen Pemeriksaan Khusus dan Investigasi Perbankan (DKIP) untuk terus memperluas cakupan bank yang ikut serta di dalamnya.

Dari forum ini, bank yang tengah menelusuri dugaan fraud akan saling berkomunikasi satu dengan lain untuk sama-sama mencari jalan keluar terbaik. Ambil contoh kasus misalnya, ketika ada mantan pegawai salah satu bank swasta yang pernah melakukan fraud lalu dipecat. Maka, identitas pegawai itu disebar kepada anggota forum agar bagian kepegawaian perbankan tidak menerima pegawai tersebut bila melamar di tempatnya.

“Ini butuh komitmen dari setiap bank. Orang yang masuk dalam forum pun harus orang yang berwenang mengambil keputusan di tempat (bank) bekerja,” sebutnya.

Serupa dengan data OJK, catatan forum menunjukkan bahwa oknum internal bank yang rawan terlibat kasus perkreditan terdiri dari beberapa level, mulai dari staf AYDA/lelang, collector, appraisal, credit analysis, account officer, branch manager, bahkan sampai ke Div Head Credit.

Sementara, data teranyar OJK, dari segi aktor, statistik penanganan tindak pidana perbankan yang ditangani oleh OJK dari segi kasus tindak pidana perbankan yang terjadi sejak tahun 2014 sampai Triwulah III tahun 2016 antara lain kasus kredit (56%), rekayasa pencatatan (21%), penggelapan dana (15%), transfer dana (5%), dan pengadaan aset (4%).

Kemudian, kasus yang telah dilimpahkan bidang pengawas perbankan ke departemen penyidikan OJK tahun 2014 (59 kasus), tahun 2015 (23 kasus), dan sampai dengan Triwulan III tahun 2016 (26 kasus).

Perlu Perlindungan OJK?
Masih ingat kasus eks Kepala Grup Auditor pada Biro Pengawasan dan Pemeriksaan bank Panin yang dipecat usai menemukan fraud di kantor cabang utama Bank Panin di Banjarmasin Kalimantan Selatan sekira tahun 2012 silam?(Baca Juga: Pekerja Bank Panin Dipecat Usai Temukan Fraud)

Kasus seperti itu mestinya bisa menjadi bahan pertimbangan buat OJK mengenai perlindungan hukum terhadap tim penanganan dan pencegahan anti fraud suatu bank atau bagi para whistleblower yang membantu OJK mengungkap dugaan kasus fraud di sektor perbankan. Hadir dalam acara itu, perwakilan dari Bank Ganesha, Edy Warman berpendapat bahwa mestinya OJK memiliki suatu instrumen khusus yang bisa melindungi whistleblower saat membantu mengungkap fraud.

“Kepala Tim Anti Fraud ini bagaimana nanti ketika mengungkap itu, bagaimana perlindungannya?,” tanyanya.

Menanggapi itu, Tini mengakui bahwa unit anti fraud punya resiko yang besar saat melaksanakan tugasnya. Ia pun merasa perlu kedepannya dibuat suatu regulasi yang bisa melindungi seluruh tim anti fraud di setiap bank. Bahkan tak cuma bank semata, perlindungan itu, kata Tini, mesti juga berlaku buat Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

“Kebetulan tadi pagi sempat berbincang dengan pak Nelson (Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK), usulan ini saya catat dan akan disampaikan ke pimpinan,” ujarnya.

Sementara itu, Budi menyatakan bahwa perlindungan terhadap pengungkap fraud masih dilakukan sebatas ‘informal’. Artinya, perlindungan belum mengacu pada payung hukum khusus yang mengatur soal perlindungan dalam konteks fraud. Senada dengan Tini, ia sepakat mengenai usulan agar ada perlindungan yang diberikan secara pasti kepada para whistleblower terkait fraud di perbankan melalui regulasi khusus.

“Dulu sempat ada whistleblower seorang pegawai bank, dia dipindahkan ke daerah karena melapor fraud. Dulu OJK tidak tinggal diam, lalu dia tidak jadi dirotasi atau dimutasi. Selama ini berjalan, namun memang tidak secara formal,” kata Budi.

Tags:

Berita Terkait