3 Rekomendasi PSHK untuk Perbaiki Kebebasan Masyarakat Sipil
Utama

3 Rekomendasi PSHK untuk Perbaiki Kebebasan Masyarakat Sipil

Meliputi kategori kebebasan berkumpul dan berserikat; kebebasan berpendapat dan berekspresi; dan pelindungan pembela HAM.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Peneliti PSHK Rizky Argama (bawah) dalam Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: Melindungi Ruang, Menjaga Harapan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2022, Rabu (21/12/2022). Foto: ADY
Peneliti PSHK Rizky Argama (bawah) dalam Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: Melindungi Ruang, Menjaga Harapan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2022, Rabu (21/12/2022). Foto: ADY

Berbagai laporan yang disampaikan kalangan organisasi masyarakat sipil menunjukkan adanya penyempitan ruang masyarakat sipil. Tren itu tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga secara global. Laporan Civicus tahun 2021 menyebut 43,4 persen orang berada di negara dengan ruang sipil berstatus represi negara. Hanya 3,1 persen populasi dunia yang berada di negara dengan ruang sipil yang terbuka.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, mengatakan aktor utama yang membuat sempitnya ruang masyarakat sipil yakni aktor negara. Kebebasan sipil di Indonesia mengalami pasang-surut terkait dengan pemerintahan yang berkuasa mulai dari orde lama sampai sekarang.

“Hampir selalu terjadi pelarangan pembekuan atau pembubaran organisasi masyarakat sipil,” kata Rizki Argama dalam Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: Melindungi Ruang, Menjaga Harapan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2022, Rabu (21/12/2022).

Baca Juga:

Penyempitan ruang sipil itu dilakukan antara lain melalui regulasi. Misalnya, UU No.16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi UU perspektifnya sama seperti UU Ormas tahun 1985 yakni mengutamakan aspek politik dan keamanan. Selain itu, mekanisme pembubaran ormas tidak melalui pengadilan.

Untuk kategori kebebasan berkumpul dan berserikat selain UU Ormas, Rizky menyoroti pembatasan demonstrasi yang tidak sesuai dengan hukum internasional yang berlaku universal, seperti Duham dan Kovenan Sipol. Banyak peraturan teknis yang membatasi HAM, misalnya Maklumat Kapolri tahun 2020 dan ada juga Maklumat Kapolda. Padahal pembatasan HAM itu hanya bisa dilakukan melalui regulasi setingkat UU.

Ia melanjutkan dalam hal kebebasan berekspresi dan berpendapat, UU ITE kerap digunakan untuk membungkam kritik publik. Sekalipun pemerintah telah menerbitkan SKB UU ITE sebagai pedoman yang membatasi agar substansi UU ITE tidak digunakan sebagai pasal karet, tapi dalam banyak kasus SKB itu diabaikan aparat penegak hukum. Misalnya, dalam kasus yang menimpa akademisi Saiful Mahdi dan aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

Tags:

Berita Terkait