4 Catatan KIARA di Sektor Nelayan dan Perikanan dalam Perppu Cipta Kerja
Terbaru

4 Catatan KIARA di Sektor Nelayan dan Perikanan dalam Perppu Cipta Kerja

Seperti menghapus batas ukuran skala tonnase kapal dalam definisi nelayan kecil, hingga kewajiban nelayan 0-10 GT mengurus penerbitan perizinan ke pusat hanya untuk meningkatkan PNBP dari nelayan kecil dan tradisional.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi nelayan usai melaut. Foto: Hol
Ilustrasi nelayan usai melaut. Foto: Hol

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja masih menuai penolakan di banyak kalangan, termasuk di sektor nelayan perikanan. Kendatipun Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) sudah mensosialisasikan ke kalangan nelayan, tapi masih menyisakan persoalan.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Rakyat (KIARA)  Susan Herawati Romica menila,i Perppu 2/2022 inkonstitusional. Pasalnya, dibentuk dengan cara inkonstitusional. Dia mengatakan, Perppu Cipta Kerja  dibentuk tanpa adanya situasi kegentingan yang memaksa tanpa partisipasi bermakna. Selain itu Perppu 2/2022 menjadi cara untuk membangkang dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

“Perppu Cipta Kerja disusun bukan untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat bahari tetapi untuk memberikan kepastian hukum kepada investor dengan segala kepentingannya dalam mengeruk sumber daya alam, khususnya sumber daya perikanan dan kelautan,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (2/2/2023).

Dia mencatat, sosialisasi KPP menyebutkan Perppu 2/2022 sebagai peraturan pelaksana putusan MK 91/PUU-XVIII/2022. Kemudian Perppu Cipta Kerja bakal mengubah Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) menjadi perizinan berusaha. Selanjutnya, Perppu Cipta Kerja bertujuan untuk mempermudah investasi di sektor perikanan dan kelautan. Terakhir,  Perppu 2/2022 mengubah kewenangan penerbitan perizinan.

Tapi begitu, ada 4 catatan  permasalahan dalam substansi Perppu Cipta Kerja sub-sektor perikanan tangkap. Pertama, Perppu Cipta Kerja menghapus batas ukuran skala tonnase kapal dalam definisi nelayan kecil, serta mengubahnya menjadi skala usaha yang terdiri dari mikro, kecil, menengah dan besar.

“Penghapusan ini akan menciptakan celah bagi nelayan di atas 10 grosse tonnage (GT) untuk tidak patuh terhadap kewajiban membawa kelengkapan dokumen administrasinya serta sistem pemantauan kapal perikanan,” ujarnya.

Kedua, hanya menjadi karpet merah terhadap investor perikanan dalam mengeruk sumber daya perikanan dan kelautan di Indonesia, bahkan memberikan keleluasaan bagi investasi korporasi asing di Zona Ekslusif Ekonomi Indonesia (ZEEI). Ketiga, Perppu 2/2022 mengubah kewenangan penerbitan perizinan.

Menurutnya, kapal sampai dengan 5 GT akan dibebankan kewajiban untuk mengurus penerbitan perizinan ke pusat (Kementerian KKP, red) jika beroperasi di wilayah kawasan konservasi nasional. Sedangkan kapal di atas 5 GT bakal dibebankan kewajiban untuk mengurus penerbitan perizinan ke pusat jika beroperasi di atas 12 mil dan lintas provinsi.

“Hal ini bertolak belakang dengan kekhususan yang sebelumnya diberikan kepada nelayan kecil (0-10 GT) yang hanya diwajibkan mengurus Tanda Daftar Kapal Perikanan (TDKP),” katanya.

Keempat, kewajiban nelayan 0-10 GT untuk mengurus penerbitan perizinan ke pusat hanya untuk mengeruk dan meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari nelayan kecil dan tradisional.  Kewajiban tersebut sejalan dengan target peningkatan PNBP yang ditetapkan oleh KKP dengan nilai Rp 12 triliun pada 2024.

Menurutnya, perubahan penerbitan perizinan nelayan kecil ke pusat bakal memberatkan serta merugikan nelayan kecil, terutama mereka juga dipungut PNBP. Dampaknya, akan semakin mendiskriminasi nelayan kecil dari ruang kelola dan ruang produksinya di laut. “Melalui kebijakan ini, kita menjadi mengetahui siapa aktor yang akan diuntungkan, antara lain hanya pemodal dan juga KKP itu sendiri,” katanya.

Sebelumnya, Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi menerangkan Perppu Cipta Kerja merupakan tindak lanjut dari putusan MK tersebut. Menurutnya, setelah ditetapkan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur metode omnibus dalam pembentukan UU.

Dengan pengaturan metode omnibus tersebut, UU (termasuk perbaikan UU Cipta Kerja melalui Perppu Cipta Kerja) yang menggunakan metode omnibus telah sesuai dengan ketentuan pembentukan UU yang pasti, baku, dan standar (pemenuhan aspek formil, red). Pengaturan metode omnibus dalam UU 13/2022 dikuatkan dengan putusan MK No.69/PUU-XX/2022 dan Putusan MK Nomor Nomor 82/PUU-XX/2022.

Pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja juga untuk mengantisipasi ancaman resesi global pada 2023. Dengan kata lain, terdapat tiga aspek genting yang memaksa terbitnya Perppu Cipta Kerja yaitu Putusan MK, kebutuhan nasional dan ancaman resesi global. Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu 2/2020  di penghujung 2022.

Tags:

Berita Terkait