4 Langkah Penting Setelah Terbit Inpres Moratorium Sawit
Berita

4 Langkah Penting Setelah Terbit Inpres Moratorium Sawit

Perizinan perkebunan sawit harus menggunakan asas transparansi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
4 Langkah Penting Setelah Terbit Inpres Moratorium Sawit
Hukumonline

Tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit belum berjalan baik. Banyak izin yang tumpang tindih dan berpotensi menimbulkan konflik agraria di masyarakat. Kepala Departemen Kampanye dan perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi, Khalisah Khalid, mengapresiasi upaya pemerintah melakukan moratorium izin perkebunan sawit dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

 

Menurut Khalisah Khalid, Inpres itu menjadi langkah awal pemerintah untuk membenahi tata kelola perkebunan sawit. Perempuan yang disapa Alin itu mencatat sedikitnya ada 4 langkah penting  yang perlu dilakukan pemerintah setelah menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2018. Pertama, meninjau kembali perizinan yang telah diterbitkan untuk perusahaan yang mengelola kebun kelapa sawit. Perizinan yang ditinjau itu untuk seluruh lahan konsesi, yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan. Setelah itu pemerintah harus melakukan audit lingkungan.

 

Kedua, jika dalam peninjauan itu ditemukan pelanggaran, pemerintah harus melakukan penegakan hukum. Alin melihat ada beberapa bentuk pelanggaran yang kerap dilakukan perusahaan seperti melakukan produksi padahal belum mengantongi hak guna usaha (HGU), dan mengelola lahan melebihi konsesi yang diberikan. Pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap izin tersebut menurut Alin sangat lemah karena jumlah pengawas terbatas.

 

(Baca juga: Walhi Anggap Inpres Moratorium Sawit Positif, Tapi…)

 

Ketiga, pemerintah perlu membuka segala informasi perizinan terkait pengelolaan perkebunan kelapa sawit kepada publik. Selama ini masyarakat sulit mengakses informasi mengenai perizinan sekalipun sudah memenangkan gugatan sengketa informasi di pengadilan. Misalnya, dalam perkara sengketa informasi antara koalisi organisasi masyarakat sipil seperti FWI dan Greenpeace Indonesia dengan Kementerian ATR/BPN. Pada intinya putusan Mahkamah Agung memerintahkan Kementerian ATR/BPN membuka HGU kelapa sawit.

 

Keempat, membangun komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan kepala daerah mengingat tidak sedikit izin yang diterbitkan daerah. Menurut Alin keempat langkah itu perlu dilakukan segera karena jangka waktu berlakunya moratorium ini sangat singkat, 3 tahun sejak diterbitkan. Padahal Walhi sudah mengusulkan agar moratorium itu paling sedikit 25 tahun, karena lahan perkebunan sawit butuh waktu yang cukup untuk dipulihkan.

 

Tak ketinggalan Alin mengusulkan agar kebijakan moratorium ini berjalan selaras dengan reforma agraria. Kedua kebijakan itu harus mendorong penyelesaian konflik agraria, khususnya yang terjadi di perkebunan kelapa sawit. “Konflik itu muncul akibat izin yang diberikan pemerintah terhadap korporasi,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Senin (24/9).

 

(Baca juga: Larangan Hutan Alam Jadi Kebun Sawit, Pemerintah Siapkan Inpres)

 

Manajer Hukum Lingkungan dan Litigasi Walhi, Ronald M Siahaan, mengatakan praktik buruk pengelolaan perkebunan kelapa sawit terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Masuknya korporasi di wilayah itu membuat petani mengubah tanamannya dari palawija dan coklat menjadi sawit. Bahkan tanah garapan warga dirampas oleh perusahaan, sekalipun lahan garapan milik warga itu sudah bersertifikat. Tak hanya itu, banyak petani yang dikriminalisasi dengan tuduhan pencurian dan perusakan di atas lahan yang diklaim milik perusahaan.

Tags:

Berita Terkait