5 Tantangan dalam Pelaksanaan Living Law
Terbaru

5 Tantangan dalam Pelaksanaan Living Law

Antara lain pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah perlu mendata living law yang ada di semua wilayah Indonesia.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Mengenai pengaturan lebih lanjut living law melalui PP sebagaimana mandat Pasal 2 ayat (3) UU 1/2023, Prim melihat setidaknya ada 5 tantangan. Pertama, perlu dirumuskan delik dan menentukan sanksi terkait hukum yang hidup di masyarakat dari seluruh daerah. Bisa juga PP itu memerintahkan setiap pemerintah daerah menyusun Peraturan Daerah (Perda) tentang hukum yang hidup dalam masyarakat setempat.

Kedua, dalam penanganan perkara yang berkaitan dengan living law perlu didorong untuk menggunakan mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif. MA masih dalam proses untuk menerbitkan Peraturan MA (Perma) tentang restorative justice. Selaras itu untuk menangani tindak pidana ringan, penyelesaiannya bisa menggunakan sidang acara cepat. Ketiga, penting untuk mengidentifikasi hukum yang hidup dalam masyarakat yang ada di setiap daerah. Hal itu perlu dilakukan mengingat hukum yang hidup dalam masyarakat akan berlaku secara regional.

“Tantangan dalam pelaksanaan living law ini bagaimana pemerintah daerah mengidentifikasi living law yang ada di daerah masing-masing,” ujar Prim.

Ketiga, proses penyidikan, penuntutan, dan eksekusi putusan hakim untuk hukum yang hidup dalam masyarakat ini menurut Prim akan dilaksanakan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) atau Polisi Pamong Praja karena regulasi yang mengatur bentuknya Perda. Keempat, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah perlu mendata living law yang ada di semua wilayah Indonesia. Kelima, melakukan sosialisasi terhadap PP tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Pujiyono, mengatakan ada pekerjaan rumah (PR) yang perlu dituntaskan setelah UU 1/2023 terbit salah satunya mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law. Pasal 2 ayat (1) UU 1/2023 merupakan integrasi sumber hukum karena menentukan tindak pidana tak hanya tertulis tapi juga hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dalam melihat living law tersebut tak lepas dari Pasal 12 ayat (2) UU 1/2023 yang mengatur suatu perbuatan pidana, melawan atau bertentangan dengan hukum tak hanya mengacu pada hukum tertulis semata. Tapi ada kriteria materil, di mana perbuatan itu juga bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.

Kendati demikian Prof Pujiyono menegaskan tidak ada pluralisme dalam hukum pidana. Ketentuan yang mengatur tentang living law dalam KUHP bersifat integral. Yakni untuk menentukan suatu perbuatan tergolong pidana dalam kualifikasi secara formal dan materiil. “Sebetulnya tidak ada dikotomi antara hukum tertulis dan tidak tertulis,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait