6 Rekomendasi Guru Besar UGM Terkait Pelaksanaan PTSL
Terbaru

6 Rekomendasi Guru Besar UGM Terkait Pelaksanaan PTSL

Ketelitian dalam mengumpulkan dan menganalisis data yuridis merupakan bagian penting untuk menghasilkan produk PTSL yang menjamin kepastian hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Maria SW Sumardjono.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Maria SW Sumardjono.

Pemerintah memandatkan untuk melaksanakan program pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Hal itu sebagaimana perintah Pasal 19 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Guna melaksanakan amanat tersebut pemerintah menggulirkan program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Ada sejumlah peraturan teknis yang diterbitkan untuk mendukung mekanisme PTSL seperti Peraturan Menteri ATR/BPN No.12 Tahun 2017 tentang Percepatan PTSL yang telah disempurnakan melalui Permen ATR/BPN No.6 Tahun 2018.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Maria SW Sumardjono, mencatat pelaksanaan PTSL menghadapi berbagai hambatan, seperti teknis-yuridis tata kelola, dan sosial-budaya. Jika persoalan itu tidak diantisipasi berpotensi akan menghasilkan peta bidang tanah (PBT) dan sertifikat hak atas tanah (SHAT) yang kurang menjamin kepastian hukum.

Hambatan teknis yuridis menurut Prof Maria dicoba diatasi melalui penguatan pengumpulan data pertanahan (puldatan), khususnya puldatan yuridis (puldadis) dengan melakukan verifikasi data yuridis. “Ketelitian dalam mengumpulkan dan menganalisis data yuridis merupakan bagian penting untuk menghasilkan produk PTSL yang menjamin kepastian hukum,” kata Prof Maria SW Sumardjono dalam materi yang dipaparkan pada seminar memperingati 62 tahun UU Pokok-Pokok Agraria dengan tema “Menuntaskan Pendaftaran Tanah Melalui PTSL, Hambatan, Alternatif, dan Jalan Keluarnya”, Sabtu (15/10/2022) kemarin.

Baca Juga:

Atas persoalan ini, Prof Maria merekomendasikan sedikitnya 6 hal untuk mendorong pelaksanaan PTSL yang lebih baik. Pertama, monitoring berkala terhadap implementasi PTSL perlu dilanjutkan dan dievaluasi bersama terkait perkembangan maupun hambatannya. Koordinasi internal ATR, koordinasi antara Pusat dan Daerah, koordinasi dengan K/L lain serta Pemerintah Daerah merupakan keniscayaan.

Kedua, strategi yang sudah ditetapkan agar ditepati tetapi bersifat fleksibel agar dapat disesuikan dengan perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Ketiga, hambatan sosial-budaya dalam bentuk ketiakpedulian masyarakat pada program PTSL. Masih ada keengganan untuk ikut serta dalam program PTSL. Sekalipun tidak keberatan tanahnya diukur, tetapi tidak bersedia menandatangai surat pernyataan yang diperlukan (surat pernyataan penguasaan tanah untuk tanah hak milik adat, surat pernyataan PBB terutang dan lain-lain).

Ada juga persoalan dimana pengumpulan data fisik dan yuridis telah selesai tetapi tidak bersedia tanahnya diterbitkan sertifikat, dan lain-lain. “Terkait hambatan tersebut perlu sungguh-sungguh dicarikan jalan keluarnya karena hal ini terkait dengan bagaimana menumbuhkan kesadaran hukum kepada masyarakat akan pentingnya sertifikat tanah,” ujar Prof Maria.

Prof Maria mengingatkan UU PA mewajibkan kepada orang/masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya (untuk pertama kali) tanpa disertai sanksi. Baru jika ada perbuatan hukum atas tanah yang bersangkutan, mau tidak mau orang yang bersangkutan akan mendaftarkan peralihan dan lain-lain perbuatan hukum atas tanahnya. Oleh karena itu, upaya menumbuhkan kesadaran hukum untuk mendaftarkan tanah perlu dipikirkan secara khusus.

Keempat, terkait dengan penatausahaan tanah ulayat, perlu segera diterbitkan Peraturan Menteri Agraria/Ka BPN untuk merevisi Permen ATR/Ka BPN No.18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan menambahkan pengaturan tentang kelompok tanah ulayat yang beraspek privat. Sebagai bahan pertimbangan dapat mengacu RUU tentang Tanah Ulayat MHA (Maria Sumardjono, dkk, DPD RI, 2019).

Kelima, terkait dengan objek PTSL berupa tanah kawasan hutan yang sampai dengan saat ini belum tersentuh oleh pendaftaran tanah. Prof Maria merekomendasikan agar disegerakan koordinasinya dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hal itu untuk mewujudkan amanah pasal 19 UU PA yang menyatakan bahwa “pendaftaran tanah dilakukan di seluruh wilayah RI”. Dengan kata lain, pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI termasuk pendaftaran tanah kawasan hutan, menjamin kesatuan wilayah RI. Keenam, data capaian program PTSL agar dirinci sesuai dengan objek PTSL.

Tags:

Berita Terkait