6 Temuan Komnas HAM di Persidangan Kasus Mutilasi 4 Warga di Mimika Papua
Terbaru

6 Temuan Komnas HAM di Persidangan Kasus Mutilasi 4 Warga di Mimika Papua

Antara lain proses persidangan tidak berjalan dengan efektif karena minimnya kesiapan perangkat pengadilan hingga keluarga korban menyampaikan mereka memerlukan jaminan perlindungan dan pemulihan dari LPSK selama proses persidangan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kantor Komnas HAM Jakarta. Foto: Istimewa
Kantor Komnas HAM Jakarta. Foto: Istimewa

Persidangan kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga di Mimika, Papua, terus bergulir. Kasus ini mendapat perhatian banyak pihak, salah satunya Komnas HAM. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan pada 2 November 2022 Komnas HAM telah menyelesaikan laporan akhir pemantauan dan penyelidikan peristiwa pembunuhan dan mutilasi 4 warga di Mimika Papua yang melibatkan oknum anggota Brigif R/20/IJK/3.

Komnas HAM telah menyampaikan rekomendasi kepada TNI untuk menindaklanjuti penanganan peristiwa tersebut. Menindaklanjuti rekomendasi terkait penegakan hukum, Komnas HAM melakukan pemantauan tahapan proses persidangan. “Hal ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab Komnas HAM untuk memastikan seluruh proses persidangan berjalan dengan baik dan dapat memenuhi rasa keadilan, utamanya bagi keluarga korban,” kata Atnike saat dikonfirmasi, Rabu (25/1/2023).

Melalui kantor perwakilan provinsi Papua, Komnas HAM terus melakukan serangkaian proses pemantauan persidangan kasus pembunuhan dan mutilasi di Mimika yang digelar dalam tiga persidangan terpisah di Pengadilan Militer III-19 Jayapura pada 10, 19, dan 20 Januari 2023. Ketiga persidangan itu meliputi perkara nomor 404-K/PM.III-19/AD/XII/2022 menghadirkan 4 orang terdakwa yakni Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Rizky Oktav Muliawan, Pratu Robertus Putra Clinsman, dan Praka Pargo Rumbouw dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan.

Persidangan kedua, dengan nomor 395-K/PM.III-19/AD/XI/2022 menghadirkan 1 orang terdakwa, Pratu Rahmat Amin Sese, terkait kepemilikan dan penyalahgunaan senjata api ilegal dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli. Sidang ketiga perkara nomor 37-K/PMT.III/AD/XII/2022 menghadirkan 1 orang terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki, dengan agenda pembacaan tuntutan.

Dari pemantauan itu Atnike menyebut lembaganya mengantongi sedikitnya 6 temuan. Pertama, sidang dapat dihadiri dan diikuti oleh keluarga korban dan masyarakat secara langsung dengan pengamanan dari Kepolisian dan TNI. Tapi proses persidangan tidak berjalan efektif karena minimnya kesiapan perangkat pengadilan. Misalnya, jadwal sidang tidak jelas dan kurang transparan (tidak sesuai dengan jadwal yang tertera di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara/SIPP).

“Hal itu menyebabkan keluarga korban kesulitan untuk mengetahui jadwal pasti guna mengikuti dan memastikan seluruh tahapan persidangan berjalan dengan baik,” ujar Atnike.

Pemeriksaan saksi pelaku sipil yang dihadirkan melalui daring menjadi tidak efektif karena permasalahan jaringan internet. Hal ini berbeda dengan saksi dari keluarga korban yang bersedia hadir dari Kabupaten Mimika ke Jayapura guna memberikan kesaksiannya secara langsung.

Pemeriksaan barang bukti dilakukan secara daring menjadi tidak efektif karena permasalahan jaringan internet. Ruang sidang kurang proporsional untuk mengakomodasi jumlah keluarga korban dan masyarakat yang ingin mengikuti proses persidangan (jumlah pengunjung sidang sekitar 50-100 orang), khususnya bagi lansia dan kelompok rentan yang terpaksa berdiri di luar ruangan.

Kedua, proses peradilan mengabaikan aksesibilitas bagi keluarga untuk mengikuti seluruh tahapan persidangan. Terpisahnya proses peradilan sangat tidak efisien secara waktu dan biaya khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi. Ketiga, proses pertanggungjawaban pidana tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah. Saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI.

“Selain itu, tersangka sipil hingga saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum dan informasi terakhir berkas perkara masih di pihak Kejaksaan Negeri Timika,” ujar Atnike.

Keempat, keluarga korban tidak puas dengan konstruksi dakwaan Oditurat Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki, karena menempatkan Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan primer, Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair. Sedangkan Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsidair. Hal ini berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku sehingga kasus serupa dimungkinkan dapat terulang kembali.

Kelima, keluarga korban dan pengacara korban menilai proses persidangan terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki terkesan dilakukan marathon. Padahal proses tahapan persidangan harus memberikan waktu yang cukup agar seluruh fakta dapat diuji dengan detil. Keenam, keluarga korban menyampaikan bahwa mereka memerlukan jaminan perlindungan dan pemulihan dari LPSK selama proses persidangan kasus ini berlangsung.

Tags:

Berita Terkait