Ada Dissenting dalam Putusan PT DKI Jakarta di Korupsi Garuda
Utama

Ada Dissenting dalam Putusan PT DKI Jakarta di Korupsi Garuda

Emirsyah ajukan kasasi sementara Soetikno masih pikir-pikir.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Emirsyah Satar saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Emirsyah Satar saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas terdakwa Emirsyah Satar, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia dalam perkara pengadaan mesin pesawat maskapai Garuda Indonesia dan unit pesawat Airbus yang juga untuk masakapai Garuda Indonesia dan juga Tindak Pidana Pencucian Uang.

"Mengadili, satu, menerima permintaan banding dari terdakwa melalui penasihat hukumnya. Dua, menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Mei 2020 Nomor: 121/Pid.Sus-Tpk/2019 PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut," tegas Ketua Majelis Hakim Banding Andriani Nurdin dalam salinan putusan yang diperoleh Hukumonline.

Dikuatkannya putusan tersebut tidak hanya dalam segi pidana penjara, tetapi juga denda dan uang pengganti yang harus dibayarkan Emirsyah. Hal itu berarti Emirsyah tetap dijatuhkan pidana penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama 3 bulan dan uang pengganti sebesar 2.117.315 dolar Singapura.

Menurut majelis ada beberapa pertimbangan pihaknya memperkuat putusan Pengadilan Tipikor Jakarta. Di antaranya, dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan yang didasarkan kepada keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa serta barang bukti yang diajukan di persidangan, dihubungkan dengan unsur dari pasal yang didakwakan kepada Emirsyah dalam perkara ini.

Majelis hakim banding menyetujui pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama yang menyatakan Emirsyah Satar telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan beberapa kali secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan kesatu pertama dan dakwaan kedua. Bagi majelis, pertimbangan dan vonis tersebut sudah tepat dan telah sesuai dengan kesalahan terdakwa dan keadilan masyarakat karena telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar.

Dikonfirmasi terpisah, kuasa hukum Emirsyah, Luhut Pangaribuan menyatakan tidak sependapat dengan putusan hakim tinggi sebab putusan tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan bagi kliennya. Oleh karena itu Emirsyah melalui dirinya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. “ES (Emirsyah Satar) sudah kasasi karena dirasa kurang adil,” ujar Luhut kepada Hukumonline.

Luhut pun membeberkan sejumlah alasan kliennya melakukan perlawanan atas putusan ini. Pertama perkara ini bermula dari Deferred Prosecution Agreement (DPA) di Inggris, dari 8 negara yang disebut terlibat, hanya Indonesia yang menjadikan perkara pidana. Kemudian yang kedua ada juga nama perusahaan BUMN lain yaitu PLN yang ada dalam DPA tetapi tidak diusut oleh KPK.

“Jadi seperti unequal before the law, ini pertanyaan juga dan diskriminatif sehingga tidak adil. Bukan membela diri dengan menunjuk kesalahan orang lain. Lebih pada tidak ada perlakuan yang sama di depan hukum, itulah sebabnya minggu lalu sadah menyatakan kasasi,” terangnya. (Baca: Dihukum 8 Tahun Penjara, Kuasa Hukum Emirsyah: Pertimbangan Hakim Tak Cermat)

Luhut juga berpendapat kliennya sudah mengelola Garuda dengan baik dibanding sebelumnya. Hal itu bisa terlihat dari keterangan mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN yang pada persidangan sebelumnya menyatakan Emirsyah telah menyelamatkan Garuda menjadi perusahaan yang diakui tidak hanya secara nasiona, tetapi juga internasional.

Kliennya, menurut Luhut juga tidak pernah secara aktif dalam pengadaan di Garuda seperti yang tertera di dakwaan, termasuk dengan vendor Rolls Royce dan Airbus. Kemudian Emirsyah juga tidak pernah menyembunyikan hasil penerimaan dari Soetikno Soedarjo yang memang dikenal sebagai sahabatnya, bahkan di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dan pengampunan pajak, semua asetnya pun dilaporkan. Dan terakhir tidak ada perhitungan kerugian negara dalam kasus ini.

“Betul ada penerimaan tapi itu tidak langsung dan baru tahu kemudian. Dan setelah tahu akhirnya sudah dikembalikan dan pengembalian sudah diakui dan ditegaskan dalam sidang. Masa disuruh dikembalikan yang sudah dikembalikan? Karena itu keliru dalam penerapan hukum,” pungkasnya.

Soetikno pikir-pikir

Tidak hanya Emirsyah, hakim tinggi juga sepakat dengan Pengadilan Tipikor Jakarta mengenai putusan terhadap Soetikno Soedarjo, terdakwa pemberi suap kepada Emirsyah. Majelis hakim banding yang dipimpin Achmad Yusak juga mengadili dan memutuskan lima hal. Kesatu, menerima permintaan banding dari penasihat hukum Soetikno dan JPU pada KPK. Kedua, menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus Nomor: 122/Pid.Sus-TPK / 2019 / PN Jkt.Pst tertanggal 8 Mei 2020 dengan putusan pidana penjara selama 6 tahun denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan.

Kemudian yang ketiga, menetapkan masa penahanan Soetikno dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Keempat, menetapkan Soetikno tetap berada dalam tahanan. Kelima, membebankan kepada Soetikno untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat peradilan, dengan biaya tingkat banding Rp7.500. Putusan atas nama Soetikno diputus permusyawaratan majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PT DKI Jakarta pada Selasa, 21 Juli 2020 oleh Achmad Yusak sebagai ketua majelis dengan anggota Nur Hakim, Sri Andini, Rusdi, dan Hening Tyastanto.

Meskipun sama-sama menguatkan tapi untuk perkara Soetikno ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari anggota majelis hakim banding Hening Tyastanto. Menurut hakim Hening, hukuman penjara bagi Soetikno Soedarjo selama 6 tahun yang diputuskan oleh majelis hakim tingkat banding yang menguatkan putusan majelis hakim tingkat pertama terlalu ringan dan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan tidak mengandung unsur penjeraan. (Baca: Pemberhentian Kasus Roll-Royce di Inggris dan Dampaknya Terhadap KPK)

Hakim Hening menegaskan, semestinya Soetikno divonis lebih berat di tingkat banding dengan 10 pertimbangan. “Bahwa dengan pertimbangan pertimbangan tersebut di atas Hakim Anggota 4 Hening Tyastanto berpendapat bahwa hukuman penjara kepada terdakwa perlu ditambah di atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu penjara 10 tahun,” tegas hakim Hening sebagaimana dalam pertimbangan putusan banding atas nama Soetikno.

Dikonfirmasi Hukumonline, Juan Felix Tampubolon, penasihat hukum Soetikno mengaku belum memutuskan apakah kliennya akan mengajukan perlawanan ke MA seperti yang dilakukan Emirsyah. “Kami belum memutuskan, masih pikir-pikir,” kata Juan Felix kepada Hukumonline.

Sementara mengenai adanya perbedaan pendapat hakim tinggi yang justru berpendapat kliennya harus dihukum selama 10 tahun Juan Felix menyatakan perbedaan pendapat dalam suatu proses hukum merupakan hal yang wajar baik itu sesama hakim atau hakim dengan penuntut umum dan juga tentunya penasihat hukum. “Apalagi kami sebagai Advokat/Pembela dalam perkara ini juga berbeda pendapat dengan Penuntut dan Hakim,” ujarnya.

Juan Felix sendiri menyakini dakwaan penuntut umum yang terbukti hanyalah Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor, sementara pasal lain yang didakwakan seperti Pasal 3 UU  Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 ayat 1 KUHP tidak terbukti menurut hukum.

Kami meyakini bahwa dalam dakwaan Penuntut yang terbukti hanya pasal 13. Pasal-pasal lainnya tidak terbukti. Perkara korupsi memang tidaklah mudah, untuk memahaminya diperlukan dasar ilmu filsafat,  'pengetahuan' dan 'pengalaman' yang betul-betul mendalam dan luas,” tuturnya.

Putusan sebelumnya

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menilai, Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) 2005-2014 dan dan Soetikno Soedarjo selaku pemilik Mugi Rekso Abadi (MRA) Group, PT Ardyaparamita Ayuprakarsa, dan Connaught International Pte Ltd telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan masing-masing dua perbuatan pidana.

Pertama, Emirsyah melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik penerimaan suap secara bersama-sama dengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri. Emirsyah bersama Hadinoto Soedigno (tersangka) selaku Direktur Teknik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kurun 2007-2012 sekaligus Direktur Produksi PT Citilink Indonesia kurun 2012 hingga 2017 dan Captain Agus Wahyudo selaku Executive Project Manager PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah menerima suap dengan sandi 'tanda terima kasih' berupa uang sebesar Rp5.859.794.797, USD884.200, dan EUR1.020.975 serta SGD1.189.208.

Selain itu, Emirsyah juga telah menerima fasilitas penginapan di tiga vila yang berada di Bvlgari Resort Bali dengan total biaya Rp69.794.797, fasilitas jamuan makan malam di Four Seasons Hotel, dan fasilitas penyewaan jet pribadi dari Bali ke Jakarta senilai USD4.200. (Baca: KPK Mencium Dugaan Pencucian Uang dalam Kasus Emirsyah Satar)

Majelis memastikan, uang suap yang diterima Emirsyah secara bersama-sama terbukti berasal dari Airbus S.A.S, Roll-Royce Plc dan Avions de Transport Régional (ATR) melalui intermediary Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo serta dari Bombadier Canada melalui Hollingsworld Management International Ltd Hongkong dan Summerville Pasific Inc. Sedangkan tiga fasilitas berasal dari terdakwa pemberi suap Soetikno Soedarjo selaku pemilik Mugi Rekso Abadi (MRA) Group, PT Ardyaparamita Ayuprakarsa, dan Connaught International Pte Ltd.

Pidana pertama untuk Soetikno, terbukti memberikan suap Rp5.859.794.797, USD882.200, EUR1.020.975, dan SGD1.189.208 serta tiga fasilitas kepada Emirsyah. Jika dikonversikan maka nilai suap yang diberikan Soetikno mencapai lebih Rp46,5 miliar. Majelis hakim menegaskan, Soetikno dan perusahaannya juga menjadi perantara pemberi suap dari empat perusahaan kepada Emirsyah.

Majelis hakim memastikan, suap yang ditransaksikan terbukti untuk pengurusan realisasi sejumlah kegiatan atau pengadaan. Masing-masing pengadaaan berupa total care program (TCP) mesin Rolls-Royce (RR) Trent 700 TCP mesin RR Trent 700 untuk enam unit pesawat Airbus A330-300 PT Garuda Indonesia yang dibeli tahun 1989 dan empat unit pesawat yang disewa dari AerCAP dan International Lease Finance Corporation (ILFC).

Berikutnya, pengadaan 10 unit pesawat Airbus A330-300/200 dengan menggunakan mesin RR Trent 700 dengan metode perawatan TCP dari Rolls-Royce Total Care Service Ltd, pengadaan 21 unit pesawat Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, pengadaan pesawat Bombardier CRJ1.000, pengadaan 15 unit pesawat ATR 72-600 dan penyewaan 12 unit pesawat Bombardier CJR1.000NG, dan pengadaaan 10 unit pesawat Airbus A330-300/200. Proyek pengadaaan dan perawatan dilakukan oleh PT Garuda Indonesia.

Pidana kedua untuk Emirsyah dan Soetikno, keduanya terbukti secara bersama-sama melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dikualifikasikan menjadi tujuh perbuatan.

Tags:

Berita Terkait