Ada Peluang Mengatasi Kendala Eksekusi Pemulihan Lingkungan Hidup
Utama

Ada Peluang Mengatasi Kendala Eksekusi Pemulihan Lingkungan Hidup

Eksekusi putusan perdata dan pidana yang terkait pemulihan kerusakan lingkungan tidak mudah untuk dilaksanakan karena terbentur ketiadaan aturan teknis pelaksanaannya secara komprehensif. Tapi, ada peluang yang bisa dilakukan salah satunya menyusun Peraturan MA tentang Eksekusi Pemulihan Lingkungan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi pemulihan lingkungan. Foto: Hol
Ilustrasi pemulihan lingkungan. Foto: Hol

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai salah satu upaya melindungi kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat terdampak. Salah satu ketentuan yang terkait dengan hal ini adanya sanksi pidana tambahan berupa perbaikan (pemulihan lingkungan) akibat tindak pidana lingkungan hidup yang diatur Pasal 119 huruf c UU PPLH.  

Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan hakim apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha. UU PPLH itu mengatur ada 5 bentuk pidana tambahan atau tindakan tata tertib yang dapat dikenakan untuk badan usaha. Pertama, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Kedua, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan. Ketiga, perbaikan akibat tindak pidana. Keempat, kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak. Kelima, penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tahun.

Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G Sembiring, mengatakan konstitusi memandatkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Untuk itu, eksekusi pemulihan lingkungan hidup sangat penting karena manusia sangat bergantung pada kualitas lingkungan hidup.

Ray melanjutkan pemulihan lingkungan hidup bisa dilakukan, salah satunya melalui penegakan hukum sesuai UU PPLH. Kendati demikian, tidak mudah menegakan hukum guna pemulihan lingkungan hidup karena banyak tantangan yang dihadapi. Tapi, prinsipnya pihak yang melakukan pencemaran lingkungan hidup adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk melakukan pemulihan lingkungan.  

Pemulihan lingkungan melalui penegakan hukum perdata bisa dilakukan melalui tuntutan legal standing, citizen lawsuit, class action, dan hak gugat pemerintah. Dari 15 perkara perdata meliputi kasus karhutla dan pembalakan, total nilai eksekusinya lebih dari Rp20 triliun.

Untuk perkara pidana dapat menggunakan pidana tambahan sebagaimana diatur Pasal 119 dan 120 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tapi pelaksanaan ketentuan ini menghadapi kendala karena sampai saat ini belum ada peraturan teknis yang mengatur pelaksanaan Pasal 120 UU PPLH ini.  

Dari beberapa perkara pidana lingkungan hidup ini, Ray mencatat ada tuntutan terkait pemulihan lingkungan. Misalnya, dalam kasus pencemaran limbah B3, amar putusan yakni pembersihan dan pelaporan kepada dinas lingkungan hidup. Untuk pidana terkait karhutla, ada amar putusan yang memerintahkan untuk melakukan pemulihan lahan yang rusak dengan biaya sebesar Rp13 miliar.

Ray melihat ada masalah dalam eksekusi putusan terkait pemulihan lingkungan hidup. Untuk perkara perdata persoalan yang dihadapi, antara lain ketika tergugat sudah tidak lagi diketahui keberadaannya, bagaimana cara memaksa tergugat melaksanakan eksekusi pemulihan dan siapa yang berhak mengawasi dan menilai pemulihan itu.

Untuk perkara pidana, Ray melihat ada kendala dalam pelaksanaan eksekusi berupa perbaikan akibat tindak pidana lingkungan, terutama jika putusan memuat biaya tertentu. Kemudian siapa yang berhak mengawasi dan menilai eksekusi pemulihan dan bagaimana akibatnya jika pidana tambahan tidak dilaksanakan.

“Kalau dalam perkara tindak pidana korupsi ketika pidana tambahan tidak dijalankan ada pidana penjara sebagai gantinya (pidana pengganti, red). Bagaimana untuk kasus lingkungan hidup? Ini tantangan besar,” kata Ray dalam diskusi secara daring bertema “Tantangan dan Peluang Pemulihan Lingkungan Hidup Melalui Eksekusi Putusan Perkara Pidana dan Perdata”, Jumat (4/6/2021). (Baca Juga: Eksekusi Pidana Tambahan Pemulihan Lingkungan Hidup Berpotensi Sulit Dilaksanakan)

Ada peluang

Untuk memperkuat penegakan hukum untuk pemulihan lingkungan hidup, Raynaldo melihat sedikitnya ada 5 peluang. Pertama, untuk perkara pidana diusulkan untuk dibuat mekanisme standar umum terkait tindakan pemulihan melalui penegakan hukum, kelompok ahli, dan lainnya. Hal ini sesuai dengan koordinasi sebagaimana mandat Pasal 120 UU PPLH. Kedua, memaksimalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Penegakan Hukum Terpadu Tindak Pidana Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

Ketiga, membuat rencana pemulihan umum atau penetapan kerusakan baik dalam gugatan ataupun dakwaan serta tuntutan (majelis hakim tinggal memperjelas rencana pemulihan dalam putusannya, red). Keempat, mengoptimalkan lembaga yang ada sebagai wali amanat (trust fund). Kelima, menyusun Peraturan MA tentang Eksekusi Pemulihan Lingkungan.

Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Rasio Ridho Sani, mengatakan pihaknya terus mengefektifkan upaya penegakan hukum lingkungan. Tujuan penegakan hukum bukan hanya untuk mengejar efek jera, tapi juga pemulihan terhadap kelestarian lingkungan hidup. “Penegakan hukum merupakan instrumen penting dalam upaya mewujudkan hak konstitusi setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Ridho mengatakan setidaknya ada 3 instrumen penegakan hukum yang bisa digunakan untuk pemulihan lingkungan hidup. Pertama, sanksi administratif, bentuknya meliputi sanksi paksaan pemerintah, denda, pembekuan, dan pencabutan izin. Kedua, penyelesaian sengketa seperti ganti rugi dan tindakan tertentu. Ketiga, penegakan hukum pidana seperti penjara, denda, dan pidana tambahan (perbaikan akibat tindak pidana, dan pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan, red).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga berperan dalam pelaksanaan eksekusi putusan perdata dan pidana terkait pemulihan lingkungan hidup ini. Untuk perkara pidana KLHK berkoordinasi dengan instansi lain, seperti kejaksaan. Untuk putusan perdata KLHK dapat mengajukan permohonan eksekusi (aanmaning) kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN); menghadiri aanmaning di PN; mengajukan permohonan sita eksekusi kepada ketua PN; mengajukan calon penilai aset kepada Ketua PN; mengajukan permohonan eksekusi (paksa) kepada Ketua PN; dan menerima hasil lelang dari Ketua PN untuk disetorkan ke Kas Negara (PNBP).

Tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum dan pemulihan lingkungan hidup, antara lain adanya perlawanan hukum, kemampuan finansial tergugat, kualitas gugatan tidak mencerminkan kondisi di lapangan, dan tidak melaksanakan putusan perintah pemulihan lingkungan. “Ini karena belum adanya pedoman sebagai acuan penegakan hukum terkait pemulihan lingkungan secara komprehensif,” katanya.

Tags:

Berita Terkait