Advokat Ini Jelaskan Mekanisme Komplain Pelayanan Kesehatan
Utama

Advokat Ini Jelaskan Mekanisme Komplain Pelayanan Kesehatan

Mulai dari mengajukan pengaduan, mediasi, tuntutan, hingga gugatan ke pengadilan. Sepanjang tenaga medis atau tenaga kesehatan telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku serta SOP, maka dia bisa terhindar dari gugatan/tuntutan hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Penanganan Pasien di Masa Pandemi Covid-19: Menyikapi kekurangan Ketersediaan Oksigen dan Obat di Rumah Sakit', Jumat (30/7/2021). Foto: RES
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Penanganan Pasien di Masa Pandemi Covid-19: Menyikapi kekurangan Ketersediaan Oksigen dan Obat di Rumah Sakit', Jumat (30/7/2021). Foto: RES

Konstitusi menjamin setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Banyak aktor yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, seperti pemerintah, rumah sakit (RS), dokter, bidan, perawat, dan lainnya.

Ketua Umum PKHMK sekaligus Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga DPC Peradi Jakarta Pusat, Risma Situmorang, mengatakan pelayanan kesehatan di RS dilakukan oleh dokter; perawat; bidan; dan tenaga kesehatan lainnya. Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan itu terkadang menimbulkan sengketa.

Dia mengingatkan Pasal 50-51 UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur hak dan kewajiban dokter dan Pasal 52-53 UU Praktik Kedokteran mengatur hak dan kewajiban pasien. Sedangkan, hak dan kewajiban RS diatur Pasal 29-30 UU No.44 Tahun 2009 tentang RS. Ada juga tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana diatur Pasal 6 ayat (1) UU RS.

Risma mengatakan jika pasien atau keluarganya tidak puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan, bisa melakukan beberapa upaya. Misalnya, terjadi dugaan malpraktik medis, langkah yang dilakukan bisa dimulai dengan membuat pengaduan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Lembaga ini akan memeriksa dokter yang diadukan atas tindakan medis yang dilakukannya apakah sesuai atau tidak dengan standar operasional prosedur dan etik kedokteran.

Untuk kasus yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana dapat melayangkan laporan ke pihak kepolisian. Jika kasusnya mengandung unsur perdata dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi di pengadilan negeri.  

“Prosedur pengaduan ke MKDKI diatur dalam Pasal 66 UU No.29 Tahun 2004,” kata Risma dalam webinar bertajuk “Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Penanganan Pasien di Masa Pandemi Covid-19: Menyikapi kekurangan Ketersediaan Oksigen dan Obat di Rumah Sakit”, Jumat (30/7/2021). Webinar ini sekaligus me-launching Jakpus Covid-19 Crisis Centre oleh DPC Peradi Jakarta Pusat dan PKHMK. (Baca Juga: Polisi Tindak Penjual Obat Harga Lampaui HET Kemenkes)

Sedangkan, untuk komplain terhadap tenaga kesehatan, Risma melanjutkan bisa melaporkan kepada RS tempat tenaga kesehatan itu bekerja. Pihak RS sebaiknya melakukan mediasi untuk menyelesaikan persoalan yang dikeluhkan terkait pelayanan RS, sehingga pihak pasien dan keluarganya tidak perlu mengajukan gugatan ke pengadilan. Gugatan ke pengadilan harus diposisikan sebagai langkah terakhir.

“Pasal yang dapat digunakan acuan untuk gugatan perdata, antara lain Pasal 1365 KUHPerdata jo Pasal 1366 KUHPerdata jo Pasal 1367 KUHPerdata,” terangnya.

Meski begitu, menurut Risma, sepanjang tenaga medis atau tenaga kesehatan telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku serta SOP, maka dia bisa terhindar dari gugatan/tuntutan hukum. Sebaliknya, jika tindakan yang dilakukan itu menyalahi aturan atau SOP, maka membuka peluang terjadi sengketa yang bisa berujung sampai pengadilan.

Hukumonline.com

Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga DPC Peradi Jakarta Pusat, Risma Situmorang (bawah) saat memaparkan materi.  

Akademisi STAI Salahudin Al Ayubi Jakarta Utara, Siti Nur Azizah Ma’ruf, mengatakan salah satu hak dokter dan dokter gigi sebagaimana diatur Pasal 50 UU No.29 Tahun 2004 yakni memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi (kode etik kedokteran, red) dan standar prosedur operasional. Dia melihat MKDKI sebagai mekanisme pembelaan bagi dokter yang memiliki tanggung jawab sebagai tenaga medis.

RS merupakan institusi yang memberikan pelayanan kesehatan paripurna kepada masyarakat. Karena itu, keberadaan RS sangat dibutuhkan masyarakat, apalagi di masa pandemi Covid-19. RS menjadi satu mata rantai sistem pelayanan kesehatan yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

“RS merupakan organ yang mempertemukan tugas yang didasari oleh dalil-dalil etik medik, karena sebagai tempat bekerjanya para profesional penyandang lafal sumpah medik dalam melakukan tugasnya,” kata Azizah.

Azizah melihat ada beberapa hal yang bisa memicu terjadinya sengketa terkait pelayanan kesehatan di RS. Misalnya, gangguan keamanan dan kenyamanan, miskomunikasi, perilaku petugas, dan aspek profesionalisme. Ada juga beberapa unit dalam pelayanan yang potensial memunculkan sengketa, seperti informasi, admision/billing, pelayanan laboratorium, pelayanan farmasi, dan tindakan medis serta perawatan.

Tags:

Berita Terkait