Akademisi: Pluralisme Hukum Harus Dijaga Keseimbangannya
Utama

Akademisi: Pluralisme Hukum Harus Dijaga Keseimbangannya

Pluralisme hukum perlu didorong untuk melindungi keberagaman termasuk dalam hal beragama. Karena itu, harus ada keseimbangan antara hukum agama, adat, negara, dan internasional yang menjadi tugas pembuat kebijakan dan juris di Indonesia.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Indonesia dikenal sebagai negara yang plural karena memiliki budaya dan adat istiadat yang beragam. Budaya yang ada di setiap daerah memiliki keunikan masing-masing. Hal itu berdampak pada perkembangan hukum, terutama yang berkembang di daerah tersebut.

Oleh karena itu di sejumlah daerah terdapat hukum yang berlaku untuk komunitas tertentu, seperti masyarakat hukum adat. Hal itu yang membuat sejumlah ahli hukum tertarik untuk mengkaji beragam hukum yang ada di Indonesia. Salah satu ahli hukum yang menekuni isu pluralisme hukum yakni Prof Keebet von Benda-Beckmann.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Lidwina Inge Nurtjahyo, mengatakan Prof Keebet punya pandangan jauh ke depan. Dalam karyanya di tahun 2005, Prof Keebet sudah mengkaitkan pluralisme hukum dengan globalisasi yang semakin intensif. Hal itu sekarang terjadi dimana masyarakat dan kebudayaan dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di tingkat nasional dan internasional. Perkembangan itu yang kemudian berdampak terhadap hukum.

“Hukum juga dipengaruhi oleh apa yang terjadi di negara lain,” kata Lidwina Inge Nurtjahyo dalam diskusi bertema “A Tribute to Prof. Keebet von Benda-Beckmann: Keragaman Pandangan tentang Pluralisme Hukum di Indonesia”, Sabtu (29/10/2022) malam.

Baca Juga:

Salah satu contoh produk hukum yang dipengaruhi oleh hukum yang berkembang di negara lain yakni UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Pluralisme hukum dalam perspektif globalisasi terutama di ruang digital semakin intensif. Hal ini menimbulkan kebutuhan baru di masyarakat yakni diperlukan adanya aturan yang memfasilitasi ketika terjadi sengketa atau wanprestasi.

Akademisi dari FH Universitas Airlangga Surabaya, Joeli Kurniawan, menyebut pluralisme hukum tidak bisa dilepaskan dari politik identitas. Misalnya terjadi di Sumatera Barat dimana nilai-nilai Islam diadopsi sebagai bagian dari adat dan kebudayaan Sumatera Barat. Kemudian dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda), seperti Perda Kota Padang No.5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Kemudian menjadi dasar untuk mewajibkan penggunaan jilbab untuk siswi yang beragama Islam, tapi juga dianjurkan untuk agama lain.

Hal itu tentunya menimbulkan masalah dalam konteks HAM. Oleh karena itu, Joeli berpendapat perlu didorong agar pluralisme hukum untuk melindungi keberagaman termasuk dalam beragama. Menurutnya, harus ada keseimbangan antara hukum agama, adat, negara, dan internasional. “Tugas pembuat kebijakan dan juris menjaga keseimbangan itu dalam sistem hukum yang ada,” ujarnya.

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Prof Sulistyowati Irianto, menilai Prof Keebet dan pasangannya yakni Prof Franz sebagai pembaru pluralisme hukum. Sebelumnya konsep pluralisme hukum yang berkembang hanya memetakan beragam hukum yang ada, misalnya antara hukum adat dan negara.

Tapi pemikiran Prof Keebet dan Prof Franz menurut Prof Sulistyowati menyebut yang dibutuhkan tak sekedar pemetaan, tapi juga bagaimana antara hukum yang ada saling mempengaruhi. “Di Indonesia harus dipahami pluralisme hukum itu melihat hukum saling mempengaruhi dan melahirkan yang (hukum, red) baru,” katanya.

Tags:

Berita Terkait