Akademisi FH Trisakti Beberkan 7 Modus Kecurangan Pemilu 2024
Melek Pemilu 2024

Akademisi FH Trisakti Beberkan 7 Modus Kecurangan Pemilu 2024

Mulai dari vote buying, mobilisasi daftar pemilih khusus, hingga penggelembungan suara.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Hasil akhir perolehan suara di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih berproses karena KPU  dan jajarannya belum tuntas melakukan rekapitulasi suara secara berjenjang di berbagai daerah. Kendati metode hitung cepat (quick count) hasil pemungutan suara Pemilu 2024 sudah dilansir sejumlah lembaga dan menunjukan salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) yang meraih suara tertinggi, meninggalkan 2 paslon lainnya.

Sejak awal pemilu bergulir dugaan kecurangan santer disuarakan mayarakat sipil Kini, hal itu diteriakan lantang tim sukses 2 pasangan calon lain yakni pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-M Mahfud MD.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan hasil hitung cepat itu tidak bisa disalahkan, karena mengutip hasil penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS). Tapi yang perlu dikejar itu tinddakan atau perbuatan yang melahirkan hasil. Menurut Fickar hal itu yang dikualifikasi sebagai kecurangan.

Modus kecurangan acapkali terjadi di setiap perhelatan hajatan demokrasi, tak terkecuali Pemilu 2024. Dia mencatat sedikitnya ada 7 modus kecurangan pemilu. Pertama, vote buying atau beli suara. Modus ini tergolong konvensional karena umum terjadi setiap pemilu dan dipastikan juga terjadi dalam pemilu 2024. Pemilih biasanya dijanjikan imbalan dari tim sukses jika memilih kandidat tertentu.

Vote buying terjadi di semua tingkatan dan marak di daerah yang minim pengawasan,” katanya dikonfirmasi, Senin (19/2/2024).

Baca juga:

Kedua, menyuap petugas penyelenggara pemilu. Fickar melihat modusnya para petugas ditawarkan imbalan agar mau mengalihkan perolehan suara dari kandidat yang tidak punya saksi di TPS. Jika modus ini ketahuan biasanya dalih yang digunakan adalah petugas telah melakukan kekeliruan dan salah tulis.

Ketiga, intimidasi penyelenggara pemilu. Biasanya aparatur negara seperti Polri, TNI, dan aparat desa hadir ketika penyelenggara pemilu menyelengggarakan rapat. Seharusnya, aparat negara tak perlu ikut dalam rapat tersebut. Pasalnya untuk memantau kegiatan jajaran KPU bisa menggunakan teknologi CCTV yang terpasang di setiap kantor KPU.

“Kehadiran aparatur negara pada TPS sangat mungkin mendekati pemilih dan secara terselubung agar memilih calon tertentu,” ujar Fickar.

Keempat, kecurangan tidak menutup kemungkinan terjadi pada sistem teknologi informasi yang digunakan dalam pemilu. Fikar melihat KPU menggunakan Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) yang funggsinya membantu rekapitulasi suara yang dilakukan KPU. Melalui sistem tersebut data penghitungan suara dimasukan secara elektronik. Sirekap juga berfungsi mendokumentasi hasil pemungutan suara sementara di TPS dan mempublikasikan kepada masyarakat secara cepat.

Kendati pemanfaatan teknologi dapat membantu penyelenggaraan pemilu, tapi Fickar mendeteksi potensi kecurangan terungkap ketika ada perbedaan jumlah suara antara yang tersimpan dalam sistem komputer dengan formulir C1. Akibatnya, bakal muncul kebingungan mana yang akan digunakan sebagai acuan penghitungan suara keseluruhan.

Kelima, penambahan atau mobilisasi pemilih yang diklaim masuk daftar pemilih khusus. Fickar berpendapat perbedaan aturan yang diterbitkan KPU RI dengan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga bisa disebut sebagai bentuk kecurangan. Misalnya, UU 7/2017 mengatur tanda bukti KTP sebagai pemilik suara hanya dapat digunakan pada wilayah domisili. Sedangkan KPU melalui edarannya menginstruksikan pemilik KTP boleh menggunakan hak pilihnya di TPS sekalipun bukan tempat domisili.

Keenam, modus kecurangan berupa mencoblos surat suara cadangan. Setiap TPS menurut Fickar memiliki surat suara cadangan sebesar 2 persen dari jumlah pemilih. Dia mencatat modus ini terjadi pada pemilu 2019 silam dan dilakukan secara sengaja. Ketujuh, penggelembungan surat suara yang kerap terjadi ketika waktu jeda istirahat. Menurut Fickar jeda istirahat merupakan titik rawan karena pengawasannya sangat minim baik petugas dan saksi.

Dianggap bermasalah

Terpisah Ketua Badan Pengurus Nasional (BPN) Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mengatakan koalisi organisasi masyarakat sipil menilai penyelenggaraan Pemilu 2014 terutama hari pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu mengkonfirmasi pemerintahan Presiden Joko Widodo telah melakukan mobilisasi sumber daya negara. Tujuannya untuk memenangkan Capres-Cawapres yang didukung Presiden Jokowi yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Sejak awal koalisi mencatat Prabowo-Gibran merupakan paslon bermasalah. Prabowo Subianto diduga kuat terlibat kasus pelanggaran HAM karena melakukan penculikan aktivis HAM periode 1997-1998. Walhasil, Prabowo dicopot dari militer oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada 3 Agustus 1998 silam. Sementara pencalonan Gibran yang merupakan anak sulung Presiden Jokowi sarat dengan praktik KKN dan melanggar etika konstitusi.

Julius memaparkan Gibran maju mendaftar sebagai Cawapres setelah terbit putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang menguji Pasal 169 Huruf q UU 7/2017. Salah satu hakim konstitusi yang ikut memutus perkara itu adalah mantan Ketua MK Anwar Usman yang notabene paman Gibran. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) jelas dan tegas dalam putusannya menyatakan telah terjadi pelanggaran etik dalam putusan tersebut sehingga Anwar Usman dicopot dari jabatan Ketua MK. Serta tidak boleh menangani perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) di MK.

Penetapan Gibran sebagai Cawapres oleh KPU juga bermasalah karena tidak sesuai aturan. Sehingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi etik berupa peringatan keras terakhir kepada ketua KPU dan peringatan keras kepada anggota KPU lainnya. Bagi koalisi beberapa peristiwa itu menunjukkan wajah Jokowi dan keluarga serta kroni-kroninya telah membajak lembaga negara seperti MK dan KPU. Tidak peduli etika, konstitusi, demokrasi, dan tata pemerintahan yang bersih dari KKN.

“Jokowi telah menyalahgunakan dan memobilisasi sumber daya negara, baik aparat, program, dan anggaran negara, bahkan otoritas yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan Capres-Cawapres nomor urut 02 (Prabowo-Gibran,-red),” tegas Julius.

Julius menekankan koalisi masyarakat sipil sudah menemukan kejahatan Pemilu (electoral evil) bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Jumlah kasus pelanggaran sejak penetapan Paslon pada 18 November 2023 hingga Masa Tenang terjadi lonjakan hampir 300 persen dibandingkan jumlah kasus pada periode pemantauan Mei-Oktober 2023. Bahkan sehari sebelum Presiden mengeluarkan kebijakan ‘politik gentong babi’ dengan menaikkan tunjangan Bawaslu. Kebijakan tersebut patut dipersoalkan karena nyata-nyata merupakan upaya untuk ‘menaklukkan’ Bawaslu.

“Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan Pemilu 2024 sudah dibajak Rezim dan saatnya demokrasi diselamatkan. Sudah saatnya kelompok masyarakat Sipil merapatkan barisan dan bergerak menyelamatkan demokrasi Indonesia,” tutup Julius.

Tags:

Berita Terkait