Akademisi Ini Kritisi Proses Pembentukan UU IKN
Terbaru

Akademisi Ini Kritisi Proses Pembentukan UU IKN

Selain dinilai tidak partisipatif, dalam naskah akademik (nasdik) RUU IKN tak menjawab apa alasan pentingnya pindah Ibu Kota Negara.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Menurut Feri, jika IKN baru nanti memiliki penduduk, maka mereka berhak memiliki perwakilan daerah karena tidak tepat jika penduduk IKN nanti menyampaikan keluhan langsung ke DPR. Padahal seharusnya ada perwakilan mereka di tingkat daerah baik itu DPRD (legislatif) dan pemerintah daerah (eksekutif).

“Konsekuensi penggunaan badan otoritas ini tidak ada tertulis dalam nasdik RUU IKN,” bebernya.

Selain itu, Feri juga menyoroti proses pembentukan RUU IKN yang sejak awal tidak melibatkan partisipasi publik dan tidak transparan. Padahal MK melalui berbagai putusannya, seperti Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 telah mengingatkan tahapan penyusunan UU, antara lain pentingnya partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation).

Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Walhi, Puspa Dewi, melihat ada potensi krisis di wilayah calon IKN baru. Menurutnya, wilayah yang disasar itu bukan tanpa pemilik. Dewi mencatat sedikitnya 50 politisi terkait kepemilikan konsesi di lokasi IKN. Proyek IKN diduga kuat menjadi jalan “pemutihan dosa” perusahaan atas perusakan lingkungan hidup.

Menurut Dewi, proyek IKN ini menjadi legitimasi untuk menggusur dan merampas ruang hidup rakyat, termasuk masyarakat hukum adat. Pembangunan IKN akan menempatkan teluk Balikpapan sebagai kawasan industri karena menjadi satu-satunya jalur logistik untuk menyuplai pembangunan IKN baru. “Akibatnya lebih dari 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di teluk Balikpapan akan terdampak serius,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait