Akibat Hukum Force Majeur dalam Pandangan Pakar Hukum Perdata
Utama

Akibat Hukum Force Majeur dalam Pandangan Pakar Hukum Perdata

Harus dilihat apakah force majeur bersifat absolut atau relatif. Renegosiasi kontrak adalah opsi yang umum.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Covid-19 sebagai dalil force majeur. Ilustrator: HGW
Ilustrasi Covid-19 sebagai dalil force majeur. Ilustrator: HGW

Ada ragam pandangan yang muncul berkaitan dengan alasan atau dalih force majeur yang digunakan debitur untuk tidak melaksanakan suatu prestasi atau kewajiban dalam perjanjian. Kondisi force majeur digunakan sebagai alasan keadaan memaksa untuk menunaikan kewajiban. Dari pandangan beberapa narasumber yang ditelusuri hukumonline, mayoritas sepakat bahwa force majeur dalam situasi pandemi tidak bisa membatalkan perjanjian. Untuk itu jalur renegosiasi kontrak menjadi sangat dianjurkan. Bahkan, asuransi Allrisk dan RSMD juga dipandang bisa saja dijadikan alasan bahwa krisis ekonomi atas suatu bencana seperti Covid-19 bukanlah merupakan suatu kejadian yang tidak dapat diantisipasi.

Lantas apa saja sebetulnya akibat hukum jika Covid-19 dijadikan dalil keadaan kahar dalam perspektif hukum perdata? Bagaimana para pakar menanggapi isu tersebut? Sejumlah kegiatan sudah dilaksanakan untuk membahas masalah ini, termasuk oleh Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) yang diketuai oleh Prof. Yohanes Sogar Simamora.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Semarang, Edy Lisdiyono menjabarkan akibat hukum dari peristiwa force majeur menjadi tiga bagian. Pertama, kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasinya. Kedua, debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dengan demikian debitur tidak wajib untuk memenuhi kewajibannya. Ketiga, risiko kreditur tidak beralih kepada debiturnya.

Edy juga menjelaskan implikasi hukum terhadap force majeur yang bersifat absolut dan force majeur yang bersifat relatif. Dalam hal terjadi force majeur absolut, perikatan menjadi batal. Alasannya, karena hambatan yang terjadi bersifat permanen, sehingga memang betul-betul tidak memungkinkan prestasi bisa dilakukan. “Artinya, pemulihan dilakukan kembali seperti keadaan semula, seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan,” jelasnya dalam webinar yang diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan, Rabu (22/02).

(Baca juga: Ingin Gunakan Dalil Force Majeur, Pahami Dulu Persyaratannya).

Untuk force majeur relatif, hambatan yang terjadi sifatnya hanya temporary atau sementara saja. Dengan begitu, force majeur relatif  tidak menyebabkan perjanjian batal, melainkan hanya sebatas ditangguhkan. Untuk dampak ekonomi yang disebabkan Covid-19, ia berpandangan bahwa force majeur yang terjadi adalah bersifat relatif atau sementara. Sehingga jalan keluar (way out)yang dapat diambil adalah renegosiasi perjanjian. “Artinya prestasi menjadi hidup kembali apabila keadaan memaksa itu berakhir,” jelasnya.

Edy lantas mengutip pada putusan MA pada tingkat kasasi dengan Putusan No. 3087K/Pdt/2001 terkait alasan krisis moneter yang diklasifikasi sebagai force majeur. Duduk persoalannya bermula saat seorang warga Jakarta Utara menggugat PT Jawa Barat Indah sebagai developer untuk pengikatan jual beli rumah susun. Awalnya, penggugat diketahui telah membayar lunas kewajibannya, tetapi tergugat tidak segera menyerahkan satuan rumah susun yang dijual.

Terhambatnya prestasi itu, didalihkan tergugat lantaran terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia. Dalam memori kasasi yang diajukannya, tergugat asal (developer) beralasan krisis moneter merupakan keadaan memaksa (overmacht) yang tidak dapat diduga dan tidak dapat dihindari oleh siapapun. Alasan force majeur yang digunakan developer itu akhirnya ditolak oleh Hakim tingkat pertama dan dikuatkan hingga jatuhnya Putusan Kasasi No.3087K/Pdt/2001 tersebut.

Dari putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesulitan ekonomi dapat digolongkan ke dalam kategori force majeur yang bersifat relatif. Intinya, penghentian pelaksanaan prestasi merupakan hal yang tidak bisa dilakukan. Argumentasi ini juga diperkuat dengan Putusan MA di tingkat kasasi pada kasus kerusuhan sosial 14 Mei 1998 (Putusan No. 2914 K/Pdt/2001).

Di situ, majelis kasasi menerima alasan pihak bank yang mengkhawatirkan alasan force majeur akibat kerusuhan dijadikan alasan untuk tidak membayar kredit. Padahal, kebakaran stok barang dagangan akibat kerusuhan hanyalah keadaan memaksa yang sifatnya relatif. “Akhirnya majelis kasasi menyatakan perusahaan pengelola kertas (debitur pihak bank) telah melakukan wanprestasi,” terangnya.

Berkaitan dengan jenis force majeur absolut dan force majeur relatif, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Katholik Parahyangan Bandung, Johannes Gunawan menjelaskan pembedaannya dilihat dari terhalang atau tidaknya debitur melaksanakan prestasi. Jika dalam perjanjian kedua belah pihak tidak dicantumkan klausula mengenai force majeur, maka para pihak harus melihat KUH Perdata sebagai hukum yang melengkapi (aanvullendrecht).

(Baca juga: Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata).

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Irawan Soerodjo menjelaskan terkait dengan jaminan kebendaan baik bergerak maupun tidak bergerak, harusnya dapat diantisipasi para pelaku usaha melalui asuransi Allrisk dan Riot, strike, malicious and damage (RSMD). Kondisi RSMD ini sangat bisa ditutup (cover)melalui polis asuransi dan jika berkaitan dengan mata uang asing seperti valuta asing yang mengakibatkan nilai tukar rupiah merosot, maka perlu juga diperhatikan mengenai hedge.

Hedge atau hedging merupakan strategi untuk melindungi, membatasi atau mengurangi risiko investor yang berhubungan dengan fluktuasi nilai tukar mata uang yang kerap tidak menguntungkan. Irawan berpandangan bahwa kondisi kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19 sebetulnya sangat bisa diantisipasi. “Jangan sampai seolah-olah semua debitur minta force majeur untuk batalkan semua kontrak. Kalau seperti ini caranya bisa collapse,” tukasnya.

Jika terjadi risiko akibat pandemi yang sudah ditetapkan sebagai bencana nasional, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Rosa Agustina, merujuk pada Buku 6 Artikel 75 KUH Perdata Belanda yang baru (NBW). Pada intinya, kegagalan dalam menunaikan kewajiban bukan merupakan tanggung jawab debitur apabila kegagalan itu terjadi bukan karena kesalahan debitur, bukan karena tanggung jawabnya menurut hukum atau tindakan yuridis, atau pandangan yang berlaku umum. (The failure in the performance cannot be imputed to the debitor if it does not result from his fault, and if he cannot be held accountable for it by law, or juridical act, or common opinion either).

Guru Besar Hukum Perdata Universitas Airlangga Surabaya, Agus Yudha Hernoko, berpandangan bahwa penentuan akibat force majeur tidak sesederhana yang dibayangkan. “Bukan masalah sederhana, apalagi terkait dengan bisnis yang kompleks,” ujarnya dalam acara yang sama. Jika force majeur bersifat absolut, dampaknya adalah terhentinya pelaksanaan kontrak. Sedangkan pada force majeur relatif, pelaksanaan kontrak belum tentu terhenti. Tergantung bagaimana hasil negosiasi para pihak dalam perjanjian. Mungkin menunda pelaksanaan kontrak, atau melakukan negosiasi yang hasilnya disepakati.

Tags:

Berita Terkait