Alas Hukum DPR Perlu Dilibatkan dalam Ratifikasi Perjanjian FIR Indonesia-Singapura
Terbaru

Alas Hukum DPR Perlu Dilibatkan dalam Ratifikasi Perjanjian FIR Indonesia-Singapura

Pemerintah perlu melibatkan DPR RI dalam meratifikasi perjanjian internasional.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Segala sesuatu yang menyangkut kedaulatan negara merupakan hal yang strategis dan sensitif. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, seringkali negara satu dengan yang lain membuat sebuah perjanjian.

Sebut saja perjanjian internasional antara Indonesia dan Singapura mengenai perjanjian penataan ruang udara atau flight information region (FIR) yang dinilai perlu diratifikasi.

Kerjasama FIR antara Indonesia dan Singapura ini terkait pengelolaan ruang udara di atas langit Kepulauan Riau, Tanjungpinang dan Natuna yang sejak Indonesia merdeka dalam penguasaan Singapura.

Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan, dalam keterangan resmi mengungkapkan pemerintah perlu melibatkan DPR RI dalam meratifikasi perjanjian Indonesia dan Singapura. (Baca: Perjanjian FIR dengan Singapura Dinilai Langgar UU Penerbangan)

“Perjanjian ini menyangkut kedaulatan Indonesia atas ruang udara yang menjadi milik Indonesia,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Minggu (21/2).

Perlu diketahui, pelibatan DPR RI ini tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi No.13/PUU-XVI/2018 yang merupakan putusan uji materiil terhadap UU Perjanjian Internasional.

Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 menyatakan presiden dengan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Mengenai perjanjian dengan negara lain atau perjanjian internasional diatur di dalam UU No.24 Tahun 2000.

Dalam UU tersebut, dijelaskan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ratifikasi memiliki artian pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen khususnya pengesahan UU, perjanjian antar negara dan persetujuan hukum internasional.

Sedangkan ratifikasi menurut UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah salah satu bentuk pengesahan yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.

Indonesia dalam menjalin hubungan dengan negara lain sering terikat dalam suatu perjanjian di berbagai bidang termasuk perdagangan yang di dalamnya mencakup kerja sama perdagangan barang dan jasa sektor energi.

Perjanjian internasional dalam lingkup kerja sama dilakukan oleh Indonesia secara bilateral, regional maupun multilateral.

UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 84 menyatakan setiap perjanjian perdagangan internasional disampaikan kepada DPR paling lama 90 hari setelah penandatanganan perjanjian.

Suatu perjanjian internasional yang akan diratifikasi harus dilengkapi dengan beberapa dokumen diantaranya adalah permohonan pengesahan ke Presiden RI melalui Menteri Luar Negeri, naskah urgensi pengesahan, naskah terjemahan perjanjian, naskah akademik pengesahan dan Rancangan Peraturan Presiden atau rancangan UU tentang Pengesahan.

Ratifikasi perjanjian internasional dapat dilakukan dengan UU atau Keputusan Presiden. Dalam proses ratifikasi, DPR melakukan tinjauan utamanya sisi manfaat dari perjanjian internasional tersebut.

Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional dilakukan melalui UU apabila berkenaan dengan: Pertama, masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara. Kedua, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia. Ketiga, kedaulatan atau hak berdaulat negara.

Keempat, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Kelima, pembentukan kaidah hukum baru. Keenam, pinjaman atau hibah luar negeri.

Sedangkan, pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional melalui Keputusan Presiden dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional.

Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini di antaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerja sama di berbagai bidang.

Pertama, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, ekonomi. Ketiga, teknik. Keempat, perdagangan. Kelima, kebudayaan. Keenam, pelayaran niaga. Ketujuh, penghindaran pajak berganda. Delapan, kerjasama perlindungan penanaman modal. Sembilan, perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.

Mengenai UU atau Keppres Ratifikasi, keberlakuannya sebagai UU atau Keppres di Indonesia tidak perlu menunggu adanya UU implementasinya. Saat UU atau Keppres disahkan atau diundangkan, maka UU atau Keppres tersebut sudah berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 87 UU No.12 Tahun 2011.

Tags:

Berita Terkait